Sabtu, 19 Juni 2010

ELING & WASPADA

Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.

ELING DIMENSI KETUHANAN
1.Eling atau ingat,
Maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.

2.Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk menggapai habluminallah.

ELING DIMENSI KEMANUSIAAN

1.Di samping manembah kepada Tuhan.
Adalah keutamaan untuk eling sebagai manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama makhluk Tuhan. Instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur, atau mulat laku kautamaning bebrayan. Dengan melakukan perenungan diri, mengingat atau eling dari mana dan siapa kita punya (behave), kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak boleh “ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa baik orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi, berarti kita dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti dan memahami kebaikan orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu menghitung-hitung jasa baik kita kepada orang lain. Jika kita ingat dari mana asal muasal kesuksesan kita saat ini, kita akan selalu termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain pernah lakukan. Sebab, hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara estafet.

2.Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa pamrih.
Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan seyogyanya dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita. Dalam pepatah disebutkan,” kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan tulislah di atas tanah kebaikan yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan orang lain kepada diri kita “ditulis di atas batu” agar tidak mudah terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita “ditulis di atas tanah” agar mudah terhapus dari ingatan kita.

3.Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong atau takabur.
Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk tidak menyerang kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi ; tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun kehilangan.

WASPADA

1.Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi hina dan celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu sebagai akibat dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri sebelumnya. Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan untuk menghindari segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita mendapatkan balasannya menjadi hina, celaka dan menderita. Misalnya perbuatan menghina, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia, makhluk, maupun lingkungan alam.

2.Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang bisa mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam.

3.Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi solah (perilaku badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif yang kasar maupun yang lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan inginkan merupakan osiking sukma (gejolak rahsa sejati yang suci) ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang kotor dan negatif). Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani.

4.Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh kawicaksananing Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat.
Esensi dari sikap eling dan waspada adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif dan bijaksana.
Mendasari semua itu dengan “agama universal” yakni cinta kasih sayang berlimpah. Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan seperti tersebut di atas, diperlukan untuk menghindari hukum karma (hukum sebab-akibat) yang buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan “hukum karma” yang baik. Hukum karma, misalnya seperti terdapat dalam ungkapan peribahasa ; sing sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi PAGAR GAIB yang sejati bagi diri anda sendiri.
Duh Gusti Ingkang Murbeng Gesang, walaupun tanda-tanda dan bahasa alam telah Engkau tunjukkan bahkan dalam gambaran yang sangat jelas, walaupun terasa suram dan menakutkan menatap kedepan kedepan perkenankan diri ini ndableg tetap memohon-mohon tanpa malu untuk yang kesekian kalinya. Anugerahkan keselamatan, kesehatan, ketentraman, kecukupan rejeki untuk seluruh saudara-saudaraku, sahabatku, seluruh pembaca yang budiman yang sempat mampir ke gubuk ini serta seluruh saudara-saudara sebangsa setanah air, yang beragama, bersuku, ras, bahasa apapun juga, dan di manapun berada.

Orang yang suka menyalahkan orang lain, gemar mencari-cari “kambing hitam”, pada saatnya nanti dalam kesendirian ia menghadapi kekalahan terbesarnya. Dan pada saat itu tiada seorang pun yang peduli lagi dengan dirinya.

I. HIDUP DI LEVEL DASAR
Perjuangan hidup di dunia ini, diawali manakal Anda masuk usia aqil-baliq, atau usia pubertas. Dengan asumsi perjuangan hidup manusia ditandai dengan pengendalian mati-matian terhadap gejolak hawa nafsu negatif. Dengan kata lain setan telah mulai bekerja untuk selalu menggoda iman manusia. Namun saya pribadi lebih percaya bahwa setan itu bukanlah makhluk gaib gentayangan, melainkan hawa nafsu negatif kita sendiri. Sekilas pandangan saya tampak kontroversial, namun Anda dapat merenungkan kalimat saya, lihat saja anak kecil atau usia kanak-kanak mengapa tidak diganggu “setan”, tidak lain karena pada usia kanak-kanak hawa nafsu belumlah bekerja sebagaimana manusia dewasa. Meskipun demikian, hawa nafsu ibarat pisau bermata dua, dapat bersifat positif yang lembut namun tiba-tiba bisa berubah menjadi destruktif dan agresor meluluhlantakkan nurani Anda. Namun ia bukanlah sesuatu yang harus Anda musuhi bahkan tidak perlu dilenyapkan dari dalam diri. Bukankah Anda bisa bertahan hidup karena Anda memiliki hawa nafsu biologis dan psikhis. Anda dapat melangsungkan regenerasi berkat jasa si hawa nafsu pula. Hawa nafsu positif telah berjasa membangkitkan hasrat dan keinginan Anda, untuk bangkit dalam semangat menjalani kehidupan yang lebih baik dan mulia. Hanya saja jenis hawa nafsu liar yang tak terkendali (negatif) akan menjadi mesin penghancur sangat dahsyat. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya pengendalian hawa nafsu sebaik-baiknya.
Setelah usia beranjak dewasa, hawa nafsu mulai bekerja sebagaimana mestinya. Lantas Anda akan memiliki banyak kemauan, menginginkan suatu pencapaian (need of achievement) menjadi yang terbaik. Mula-mula Anda tidak puas dengan keadaan hidup ini. Ketidakpuasan akan berdampak menimbulkan berbagai macam hasrat. Hasrat adalah suatu keadaan yang wajar, tanpa hasrat yang cukup besar terhadap kualitas dan kuantitas pencapaian hidup maka tak akan ada motivasi untuk bertindak. Anda dapat membayangkan sendiri apa yang akan terjadi bila tidak melakukan sesuatu apapun dalam kehidupan di planet bumi ini. Anda tidak tumbuh, mandeg, mundur, lalu mengalami kepunahan yang tragis. Dalam tindakan spontan pun di dalamnya ada kehendak bawah sadar, misalnya Anda merasa kantuk lalu ingin tidur. Anda terkejut oleh keberadaan ular berbisa lalu meloncat ketakutan. Kehendak atau hasrat adalah rumus Tuhan, atau hukum alam, sunatullah yang dianugerahkan kepada manusia. Oleh karena itu adanya kehendak atau hasrat merupakan keharusan bagi manusia yang berani hidup (strugle of life).
Dalam level dasar ini, keberhasilan yang Anda raih diakumulasi menjadi semangat yang semakin membara. Semangat yang serempak menggelora dalam diri, meliputi dari dalam hati, pikiran, lalu Anda ikrarkan dengan lantang, selanjutnya Anda wujudkan dalam tindakan nyata. Di satu sisi, hal itu menjadi doa yang tak terucap sepanjang waktu, sepanjang Anda tertantang mewujudkan hasrat. Rasa lapar dan ingin memiliki sesuatu (kebutuhan primer dan sekunder), keduanya menjadi bahan bakar utama dalam mewujudkan kehendak, cita-cita dan harapan. Begitulah Anda telah menuju titik awal yang baik dalam mewujudkan hasrat, keinginan dan harapan. Sampai pada suatu saat Anda benar-benar mendapatkan apa yang Anda inginkan. Maka rasa puas, marem, bangga diri akan dirasakan. Tidak berhenti di situ, selanjutnya Anda tentu ingin mencapai lebih dari pada yang telah Anda dapatkan sekarang.
Keadaan yang kontradiktif ! Dalam tahap keberhasilan ini terkadang Anda justru merasakan sindrom keresahan, kebingungan, menderita, dibanding keadaan sebelumnya semasa dalam ketidak-punyaan. Kekhawatiran akan menjadi semakin besar hanya dengan hanya membayangkan andaikan saja Anda mengalami kejatuhan, kebangkrutan, tertipu, kegagalan, kehilangan harta, sakit berat, kehilangan orang-orang terkasih. Untuk menghilangkan kecemasan yang datang bertubi Anda menyiapkan segala macam sarana pendukung untuk menciptakan ketenangan. Begitulah seterusnya anda berada dalam hegemoni (penguasaan) hasrat anda yang sebenarnya semu bagaikan fatamorgana dan jatuh bangun mengejar bayang-bayang Anda sendiri.
Semua hasrat dan keinginan-keinginan Anda di atas barulah pada tahap paling dasar yakni kebutuhan ragawi. Lantas suatu ketika Anda sungguh menyadari bahwa keberhasilan yang diraih tidak benar-benar membuat tenteram dan bahagia. Anda sadar bahwa apa yang berhasil diraih tidaklah langgeng, kepuasan dan rasa bangga hanyalah bersifat sementara saja. Bersyukurlah Anda bila menyadari sebab musabab kegelisahan, keresahan, dan kekhawatiran Anda. Karena cahaya kebenaran Tuhan telah mulai menerobos ke dalam kesadaran kalbu. Anda menjadi manusia yang sangat beruntung, karena alam menaruh peduli dengan Anda, hukum alam menyadarkan dan membimbing Anda agar supaya beranjak dari pencapaian yang sesungguhnya kecil namun selama ini Anda anggap suatu kesuksesan besar dalam kehidupan Anda. Harta yang melimpah, pasangan hidup yang mengangkat gengsi, tahta dan jabatan yang tinggi, dan gemerlapnya “perhiasan dunia” yang berhasil Anda raih adalah pencapaian atau kesuksesan yang teramat kecil dalam kesejatian hidup. Anda harus segera menyadari, adalah pencapaian yang jauh lebih berharga dalam kehidupan ini, yakni pencapaian kebahagian dan ketenangan batin.

II. HIDUP DI PERSIMPANGAN JALAN
Level kedua di mana Anda tersentak disadarkan oleh suatu peristiwa yang memukul kesadaran Anda sebelumnya. Seringkali terjadi manakala Anda mengalami suatu pengalaman unik (unique experience) atau kejadian yang dramatis dalam kehidupan pribadi. Misalnya Anda kehilangan harta, kebangkrutan ekonomi, kegagalan usaha, kehilangan jabatan, kehilangan orang terdekat yang Anda cintai, gagal dalam persaingan bisnis atau popularitas, dan Anda betul-betul menjadi orang kalah. Semua hal yang selama ini dibanggakan dan diandalkan, dianggap sebagai simbol kekuatan dan kejayaan, kemegahan dan kesuksesan, kehormatan dan kemuliaan, tiba-tiba terjungkir dan Anda betul-betul berada di bawah. Semua itu mengakibatkan Anda mengalami sakit hati yang sangat dalam, merasa terpukul, kehilangan semangat, putus asa, atau kemurkaan yang begitu membakar emosi dst. Setiap manusia suatu ketika pasti mengalami penderitaan ini. Keadaan akan membuat Anda bingung harus berencana dan bertindak bagaimana untuk keluar dari masalah. Anda terperangah lantas mulai meragukan segala ilmu, teori, konsep, kepercayaan, keyakinan yang Anda anut dan andalkan selama ini. Keadaan menjadi anomali, di mana orang merasa kehilangan arah dan pegangan hidup. Anda mulai meninggalkan nilai-nilai lama, sementara nilai baru belumlah Anda patenkan sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan yang baru yang betul-betul meyakinkan. Bila Anda mampu bangkit, pertama-tama akan melakukan kontemplasi, otokritik, mawas diri, dan menemukan sesuatu yang salah pada diri Anda sendiri, lantas sesegera me-reset ulang MIND-SET Anda dalam memandang apa arti kehidupan ini. Bagaikan semangat renaissance, kebangkitan kebali ditandai kesadaran untuk memulai suatu perjalanan batin, dengan apa yang dinamakan sebagai “laku prihatin” dapat diakronimkan rasa perih dalam batin. Rasa perih sebagai menjadi titik awal menuju keindahan batin. Sebaliknya, tanda-tanda bila akan tenggelam dalam kegagalan total bilamana Anda gemar menyalahkan orang lain, sibuk mencari-cari “kambing hitam”, giat mencari benarnya sendiri, butuhnya sendiri, menangnya sendiri. Anda enggan mengakui kelemahan diri sendiri, malah kembali menyalahkan nasib terlampau sial. Memang nasib sial datang dari mana ? Dari Tuhankah ? Tidak, Tuhan jangan dijadikan obyek penderita ! Nasib buruk adalah berasal dari kecerobohan diri sendiri. Seyogyanya kegemaran menyalahkan pihak lain segera dihentikan sekarang juga. Karena teramat sangat bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain. Jika Anda tak mampu menghentikannya, tunggu saja hingga pada saatnya nanti Anda berada dalam kesendirian, akan menghadapi kekalahan terbesar. Celakanya, pada saat itu tiada seorang pun yang peduli lagi dengan diri Anda.

Feed Back
Kini keadaannya sangat berubah, segala hal yang Anda buru dengan semangat bagai api membara dan disangka sangat membahagiakan mendadak terasa hambar dan kosong. Kehidupan sehari-hari didominasi oleh perasaan akan keadaan yang penuh pahit dan getir. Anda yang ingin bangkit berusaha survival dan mencoba banting stir, perburuan beralih dari mengejar kejayaan dan sesuatu yang membanggakan menuju upaya jujur. Saat itu Anda melangkahkan hati memasuki kerajaan batin yang jauh tersembunyi dalam keheningan batin. Sebagaimana pengetahuan spiritual dan religi yang pernah Anda baca, dengar dan ketahui dari kisah-kisah hidup yang dialami orang lain, dari teman, dari berbagai referensi buku, dan senandung ayat-ayat dalam Kitab Suci. Hidup berubah arah 180 drajat, mungkin bagi orang-orang yang sering berinteraksi, melihat diri Anda mendadak berubah menjadi orang soleh dan tidak mau neko-neko menjalani kehidupan ini.
Di saat anda menelusuri jalan setapak menuju kerajaan batin kadang terhalang oleh suatu kendala paling besar yang justru datang dari dalam diri pribadi. Sebagian orang telah menyangka, sebagian lagi terhenyak saat menyadari betapa diri terlalu lemah, pongah, takabur dan merasa sudah menjadi manusia paling benar, yakin diri sudah menjadi manusia soleh atau solihah. Dalam kesadaran rasio dan batin, seringkali orang merasa mencapai suatu tataran yang tinggi, merasa banyak pengalaman dan ilmu pengetahuan. Lantas memandang ilmu dan pengalaman orang lain lebih rendah dan kurang bermutu. Selanjutnya muncul sikap suka meremehkan, memandang sebelah mata kemampuan dan pengetahuan orang lain. Berburuk sangka, mudah memfonis secara sepihak atas perbuatan orang lain, dan tergesa mengambil kesimpulan akan suatu wacana. Itulah kelemahan terbesar manusia yakni manakala menghadapi musuh dalam selimut jasad berupa egosentrisme yang erat kaitannya dengan hawa nafsu negatif. Namun suatu ketika perjalanan hidup Anda akan merubah kesadaran rasio dan batin. Lantas Anda merasa malu dan geli menyadari betapa kemarin dan tempo hari kesadaran Anda ternyata sangat dangkal namun justru sering memfonis jalan hidup orang lain sebagai cara yang buruk dan tidak benar. Pada saat kesadaran diri merambah rasio, jika dianalogikan seumpama Anda berada di dalam ruang tanpa cahaya matahari, semua obyek yang ada di dalam ruang tetap tampak jelas dari pandangan mata Anda. Namun pada saat sinar mentari pagi menerobos masuk ke dalam ruangan, dan mendadak Anda menyadari bahwa udara di dalam ruangan penuh dengan butir debu. Dalam sorotan cahaya mentari yang menyibak keremangan itu, Anda melihat butiran debu tampak pekat beterbangan. Lantas Anda bergidik, merasakan berjuta debu masuk ke dalam lubang hidung Anda. Pada saat itu Anda sedang dibangunkan dari ketidaksadaran, ditatap balik oleh ketidakmampuan dan keraguan diri Anda sendiri. Inilah tahap yang memicu revolusi kesadaran, dari kesadaran rasio (akal-budi) beranjak kepada kesadaran batin. Akan tetapi resiko terbesar justru pada tahap ini. Tahap yang penuh marabahaya dan ancaman.
Gerak dari tahap pertama ke tahap kedua terjadi berkat anugrah Tuhan. “Guru sejati” Andalah yang menyadarkan ada apa dengan jati diri atau kepribadian Anda. Tuhan telah menyungkurkan kesadaran Anda ke arah wajah kotor Anda sendiri. Anda barulah menyadari bahwa selama ini ibarat katak dalam tempurung. Ibarat orang buta memegang gajah. Kebenaran dan kebaikan yang Anda ketahui hanyalah parsial, dan Anda telah melakuka kesalahan terbesar dengan berani menyimpukan atau membuat generalisasi sesuatu berdasarkan secuil data yang tidak akurat. Untuk memudahkan saya istilahkan seorang Doktor lulusan SD, Anda pribadilah yang menilai diri sebagai seseorang yang penuh ilmu pengetahuan. Sementara Anda tidak menyadari ternyata orang-orang di sekitar Anda tertawa geli melihat tingkah tak waras tersebut. Selanjutnya tergantung Anda sendiri, apakah akan mampu dan behasil menemukan jalan untuk melanjutkan ke tahap tiga atau tidak. Sangat banyak orang yang akhirnya tertahan berhenti pada tahap kedua ini, menjadi orang-orang kalah, dan hanya menuai keterpurukan hidup semata.
Tak bisa dielakkan, tahap kedua merupakan tahap seleksi yang harus Anda lalui agar dapat masuk ke dalam tahap tiga dan mengalami tingkat keberhasilan lebih tinggi dan murni. Banyak kisah keberhasilan yang diraih oleh orang-orang besar dan populer, yang merupakan keberuntungan sementara saja. Akan tetapi tak ada seorangpun yang meraih keberhasilan sejati dan abadi dengan mewariskan kemajuan dan kebaikan bagi kehidupan seluruh makhluk di dunia ini, tanpa melewati pesimpangan jalan tahap dua. Pada saat ini Anda telah menuju jalan memenuhi takdir Anda, apakah akan tersungkur, ataukah berhasil menggapai kehidupan yang sejati, merdeka dan sejahtera lahir dan batin. Saat itulah Anda sedang duduk di singgasana batin yang menentramkan dan membahagiakan.

III. MENEMUKAN HIDUP SEJATI
Sebagai hukum alam atau rumus Tuhan Yang Maha Agung, bahwa sesuatu yang sudah seharusnya menjadi milik Anda tidak dapat dirampok, ditunda, atau dihentikan orang lain. Anda tahu bahwa sumber keberhasilan Anda tidak tergantung pada orang atau situasi tertentu, tetapi pada diri pribadi Anda. Selama perbuatan-perbuatan tetap sinergis dengan rumus-rumus Tuhan atau harmonis dengan hukum alam, di situlah kemanunggalan Anda yang berada dalam kehendak atau rumus Tuhan, yang akan membawa Anda pada keberhasilan yang sejati. Seumpama Anda menghanyutkan diri ke dalam sungai, maka energi yang mengantarkan Anda menuju samudra keberuntungan bukanlah kehendak Anda, namun energi sungai itu sendiri telah menghanyutkan Anda ke arah yang tepat. Anda menyadari bahwa perbuatan Anda pada waktu yang lalu dan hari ini menjadi faktor penentu untuk nasib kesuksesan Anda di masa yang akan datang. Dalam terminologi Jawa dikenal sebagai tapa ngeli, yakni menghanyutkan diri ke dalam “sungai” mengikuti aliran air (kehendak Tuhan) agar dapat bertemu dengan “muara” keberhasilan hidup, lantas masuk ke dalam “samudra” anugrah kemuliaan yang sesungguhnya, meliputi lahir dan batin. Sebaliknya adalah tindakan yang melawan kodrat. Diumpamakan sebagai tindakan “mengikuti air bah”, meninggalkan samudra anugrah dan keberuntangan, menerjang daratan, membuat kerusakan dan merugikan makhluk hidup lainnya.
Hidup bukanlah sesuatu yang bersifat instan, namun memerlukan proses panjang yang menuntut kecermatan (eling & waspada) Anda dalam melangkahkan kaki setapak demi setapak. Agar supaya benar-benar dapat membedakan mana “air-bah” dan mana bukan “air-bah”. Bila pilihan jatuh pada jalan yang tepat, baik dan benar, Anda melaksanakan tugas dan tanggungjawab sesuai dan selaras dengan “kehendak” Tuhan dan pada gilirannya Anda mengesampingkan hasilnya, waktu demi waktu. Proses jauh lebih penting daripada hasil. Dalam “spiritualitas” sepak bola, dikatakan : yang penting bermain benar dan cantik, soal hasil nomor dua. Proses adalah keutamaan spiritual yang tertanam dalam kerajaan batin, sedangkan skor sebagai hasil akhir adalah materi. Mind set Anda saat ini telah memahami bahwa proses yang baik, tepat dan benar merupakan modal utama. Selanjutnya segala hal yang telah Anda kerjakan pada akhirnya dan sudah pasti akan menghasilkan kesempurnaan material dan spiritual.
Tahap Ini merupakan kehidupan tingkatan lanjut sehingga tampak aneh atau mustahil bagi orang yang masih tertahan di tahap sebelumnya. Tetapi yakinlah bahwa keadaan ini ada pada semua manusia, yang telah mengerjakan perjalanan menuju kerajaan batin. Dan keadaan ini bersemayam dalam jiwa setiap orang. Masihkan Anda menunggu-nunggu mendapat cahaya Tuhan ? Sebagian orang menanti-nanti “uluran tangan” Tuhan, sementara itu tangan Tuhan sudah berada di dalam dada dan batin Anda sendiri. Bila Anda selalu menunggu bola, bisa jadi bola tak kunjung datang sampai ajal menjemput. Cahaya Tuhan tidak untuk dinanti, namun harus dicari. Dan hanya sedikit orang yang berani menjemput cahaya Ilahi yang berada nun jauh di dalam tata ruang batin. Sebagian besar takut akan doktrin-doktrin yang menakut-nakuti Anda. Kekhawatiran akan terjebak ke dalam kesesatan, jatuh ke dalam pelukan setan, dan tercebut ke dalam neraka jahanam dst. Ketakutan dan kekhawatiran yang telah menghegemoni alam bawah sadar Anda. Padahal setan itu tidak lain adalah kiasan dari nafsu negatif Anda sendiri, dan “neraka” sudah ada sejak Anda hidup di dunia ini. Maka, sebelum Anda mengawali perjalanan ke tahap tiga, diperlukan sebuah katarsis, penyucian kehendak, pemrograman ulang akan pola pikir (mind set) terhadap alam bawah sadar. Salam asah asih asuh .

MEMULAI LAKU PRIHATIN

PRIHATIN adalah kata-kata yg akrab di telinga kita, bahkan saya pernah mendengar kata “prihatin” saban hari selama sebulan. Tapi saya semakin judeg memaknainya. Setelah sekian lama, barulah saya pahami bahwa “prihatin” mungkin singkatan dari “perih ing batin” (pedih yang dirasakan oleh batin). Mengapa pedih ? Yah, tentu saja, karena batin (jiwa) ini tidak diujo (dibiarkan semau gue) memuaskan hawa nafsu. Padahal tahu sendiri kan, betapa nikmatnya bila kita sedang keturutan (terpenuhi) hawa nafsunya. Apalagi untuk urusan “under stomach“.. namun dalam suasana jiwa yang “prihatin” pemuasan nafsu jasadiah sangat dikendalikan, sekalipun sudah menjadi hak kita. Sampai ada wewaler “ngono yo ngono ning ojo ngono” (gitu ya gitu tapi jangan gitu dong..). Sebagai rambu-rambu agar supaya tidak sampai berlebihan atau melampaui batas kewajaran. Jadi, garis besarnya “laku prihatin” adalah upaya kita agar badan/jasad ini selalu berkiblat mengikuti kehendak guru sejati/rahsa sejati (kareping rahsa sejati) yang selalu dalam koridor kesucian (berkiblat pada kodrat Tuhan). Sehingga kecenderungan nafsu/hawa/nafs/jiwa/soul kita yang cenderung ingin berbuat negatif nuruti rahsaning karep (nafsu negatif), senaniasa kita belokkan kepada kesucian sang guru sejati dan rahsa sejati. Sehingga menjadi nafsu yang selalu berkeinginan baik (an nafsul mutmainah). Nah, “kekalahan” jasad (bumi) atas jiwa yang suci ini seringkali terasa pedih/gundah/marah di dalam kalbu.

Karena banyaknya pertanyaan mengenai tata cara atau apa yang harus ditempuh dalam mengawali sebuah perjalanan spiritual (laku prihatin) untuk menggapai tataran kesejatian, maka perlu kami paparkan tulisan berikut ini. Seluruh catatan di sini, semua semata-mata sebagai salah satu upaya saya untuk mewujudkan rasa syukur yang paling konkrit kepada Gusti Allah yang sudah menganugrahkan rahmat, kebahagiaan, ketentraman, dan kecukupan pada kami & keluarga. Bagi saudara-saudaraku para pembaca yang budiman dan seluruh sahabat handai taulan yang menanyakan bagaimana memulai sebuah “laku” prihatin untuk menggapai spiritualitas sejati, berikut ini yang dapat kami paparkan secara sederhana agar mudah dipahami. Apa yang saya paparkan di bawah ini sekedar contoh langkah-langkah yang saya lakukan selama ini untuk memahami kehidupan sejati dan selanjutnya menggapai kemuliaan hidup.
Terdiri dari 5 jurus atau empat tahapan yakni;

1.Nol adalah nihil.
Substansi nihil di sini berarti belum ada manifestasi perbuatan konkrit. Masih berupa niat; niat ada dua level yakni; Niat Demi Tuhan, dan Niat Ingsun. Yang pertama menyiratkan pemahaman saya yang belum utuh akan jati diri. Setiap mengikrarkan Demi Tuhan; saya terbayang bahwa perbuatan baik saya tujukan kepada Tuhan, dengan membayangkan Tuhan itu nun jauh di atas langit ke tujuh. Akan tetapi kemudian dalam perjalanan spiritual ini sampailah pada pemahaman bahwa saya lebih merasa mantab bila berkata; Niat Ingsun. Alasannya ; niat Ingsun lebih pas, karena bukankah Tuhan itu lebih dekat dengan urat leher kita ? Tuhan (Sifat hakekat) berada dalam JATI DIRI (sifat zat). Maka Ingsun bermakna “Aku” . Sedangkan “Aku atau Ingsun” merupakan hakekat Tuhan (sifat zat) dalam diri. Aku (manusia) melakukan apa yang diridhoi AKU (hakekat Tuhan di dalam makhlukNya). Saya temukan suatu makna bahwa melakukan kebaikan pada sesama itu tidak lain memposisikan diri kita pada jalur “kodrat” Ilahi. Jelasnya menurut pemahaman saya, bahwa Niat Ingsun ternyata memiliki makna; sebuah ucapan yang keluar dari hakekat “manunggaling kawula-Gusti”.

2.Membersihkan hati;
Dengan cara membiasakan berfikir positif, sekalipun menghadapi situasi yang buruk dan tidak menyenangkan, tetapi selalu berusaha mengurai sisi baiknya. Sebaliknya waspadai diri kita sendiri, selalu mengevaluasi diri, karena setiap orang akan cenderung merasa sudah melakukan banyak amal kebaikan maupun merasa telah beriman. Namun mengapa banyak pula orang yang merasa banyak amal, banyak membantu, merasa sudah banyak sodaqah, merasa sudah bersih hati, merasa sudah menjalankan sariat, tapi kehidupannya kontradiktif; masih selalu merasa sial, dirundung musibah dan kesulitan. Dan dengan percaya diri lantas menganggapnya sebagai cobaan bagi orang-orang beriman. Ini menjadi suatu “kelucuan” hidup yang sering tidak kita sadari.

3.Berusaha setiap saat agar hidup kita bermanfaat bagi sesama.
Dalam terminologi ajaran Luhur disebut donodriyah; atau sodaqoh. Dhonodriyah ada 4 cara dan tingkatan; yakni (1) dhonodriyah doa; (2) dhonodriyah tutur kata/nasehat yg baik dan menentramkan, (3) dhonodriyah tenaga, (4) dhonodriyah harta. Yang terakhir inilah yang paling sulit dilakukan tapi nilainya paling tinggi. Kita lakukan semua kebaikan kepada sesama dengan tulus dan ikhlas. Kita jadikan sebagai sarana tapa ngrame; ramai/giat dalam membantu sesama, tetapi sepi dalam berpamrih.

4.Belajar tulus dan ikhlas sepanjang masa.
Agar supaya mampu mewujudkan keikhlasan yg sempurna. Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat diumpamakan “keikhlasan” kita sewaktu buang air besar. Kita enggan menoleh, bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan membekas. Setelah itu kita tak pernah membahas dan mengungkit-ungkit lagi di kemudian hari. Itu yang harus kita lakukan, sekalipun yang kita perbantukan berupa harta paling berharga. Mengapa harus belajar ketulu-ikhlasan sepanjang masa ? Tidak lain karena keihklasan hari ini dan dalam kasus tertentu, belum tentu berhasil kita lakukan esok hari, belum tentu berhasil dalam kasus lain, dan belum tentu sukses kita wujudkan dalam kondisi mental yang berbeda.

5.Meghilangkan sikap ke-aku-an (nar/api/iblis);
Menghindari watak mencari benernya sendiri, mencari menangnya sendiri, dan mencari butuhnya sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian badan dan batin dari polusi hawa nafsu negatif agar sinar kesucian (nur) menjadi semakin terang dalam kehidupan anda.

6.Perbanyak bersyukur,
Sebab tiada alasan sedikitpun untuk menganggap Tuhan belum memberikan anugrah kepada kita. Coba hitung saja anugrah Tuhan dalam setiap detiknya, berpuluh-puluh anugrah selalu mengalir pada siapapun orangnya; sekali lagi dalam setiap detiknya. Maka bersyukur yang paling ideal adalah mewujudkannya dalam perbuatan. Misalnya kita diberi kesehatan; bersukurnya dengan cara gemar membantu orang yang sedang sakit dan menderita. Latih diri kita agar selalu membiasakan bersukur TIDAK dengan mulut saja, tetapi dengan sikap dan perbuatan konkrit.

Dalam setiap melakukan amal baik kepada sesama, kita “transaksikan” kebaikan itu dengan Tuhan, jangan dengan orang yang kita baiki. Jika kita “bertransaksi” dengan orang, maka kita hanya akan mendapat pujian atau upah saja. Jika 5 tahap itu bisa dilaksanakan menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan menemukan kamulyan sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan kita dapat meraih anugrah Tuhan berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak dapat dicelakai orang, selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan, dan tenteram. Bahkan semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima.
Selamat menjalankan, dan lihatlah buktinya.


BAGAIMANA HARUS BERSERAH DIRI PADA TUHAN

Berserah diri hakekatnya sama dengan “tapa ngeli” menghayutkan diri pada “aliran sungai” kehendak Hyang Widhi (kareping rahsa) yang akan menjamin kita sampai pada muara keberuntungan memasuki samodra anugrah Tuhan. Tapi orang kadang tanpa sadar telah salah pilih, menghanyutkan diri pada “air bah” (rahsaning karep/keinginan jasad) sehingga arahnya berbalik meninggalkan samodra anugrah Tuhan menuju ke daratan, menyapu dan merusak apa saja yang dilewatinya. Menerjang wewaler, merusak kedamaian dan ketentraman, tata krama, aturan, dan segala macam tatanan.

Pun, bagi yang dapat melakukan “tapa ngeli” tetap harus sambil berenang (eling dan waspadha) agar tidak tewas tenggelam. Bukan berarti, kita menyerahkan 100 % kemauan (inisiatif) kita kepada Tuhan. Karena sikap ini sama saja membangun sikap FATALISTIS. Lantas menganggap nasib buruk, kegagalan, penderitaan, kesulitan yang menimpa dirinya sebagai takdir Tuhan. Secara tidak sadar sikap itu seperti halnya mengkambinghitamkan Tuhan dan menafikkan tugas ihtiar manusia. Berserah diri 100 % artinya kita tetap memiliki inisiatif untuk berjuang dan berusaha, hanya saja harus menempuh cara-cara atau prosedur yang mentatati rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebab letak kodrat ada di dalam prosedur dan cara-caranya, bukan pada garis nasib. Merubah nasib itu menjadi tanggungjawab kita sendiri. Hanya saja tata cara dan rumus-rumus merubah nasib, sudah disediakan Tuhan. Bila kita menggunakan rumus Tuhan, pastilah akan menuai sukses besar. Sebaliknya akan menuai kerusakan diri sendiri, orang lain, dan bumi. Manusia jenis inilah yang menjadi seteru Tuhan.

Proses tetap menjadi tugas utama manusia. Kegagalan bisa jadi karena manusia tidak mentaati rumus Tuhan. Atau Tuhan sengaja menggagalkan upaya manusia sebab Tuhan maha mengetahui dan selalu menentukan yang terbaik untuk manusia.

Hidup ibarat seni, perlu manajemen seni untuk menjalankan irama kehidupan sehari-hari sesuai kehedak Tuhan. Kejadian yang sama belum tentu memiliki makna dan hikmah yang samapula. Itulah sulitnya menerjemahkan kehendak Tuhan, krn Tuhan “bekerja” dengan cara yang misterius. Akan tetapi Tuhan Maha Adil, telah memberikan instrumen dalam jati diri kita berupa rahsa sejati dan guru sejati, sebagai alat paling canggih yang dapat menangkap bahasa isyarat dan kehendak Tuhan. Sayangnya masih banyak orang yang belum mengenali instrumen dalam diri pribadi setiap manusia tersebut.

Kodrat meliputi rumus-rumus ilmu Tuhan yang Mahaluas tak terbatas. Discovery, penemuan ilmiah bidang sains, teknologi dan knowledge, teori-teori filsafat, sosial ekonomi, politik, psikologi, kedokteran merupakan bukti nyata kesuksesan manusia dalam mengejawantah rumus-rumus (kodrat) dan kehendak Tuhan. Bahkan banyak di antara tokoh penemu sains dan teknologi, temuan mereka berkat diawali oleh sebuah ilham atau wisik gaib. Kadang dengan didahului oleh kejadian unik yang menjadi jalan penunjuk ke arh penemuan baru. Dalam bahasa yang lebih ilmiah disebut sebagai talenta atau bakat alami (ILMU LADUNI). Seorang ilmuwan penemu, tidak akan tergantung apa sukunya, bangsanya, bahkan agamanya. Inilah salah satu bukti jika Tuhan itu tidak primordial, anti sektarian dan puritan. Tapi mengapa ya manusia sering kebangeten dengan berulah dan bertabiat kontraversi dengan “sikap” Tuhan tersebut ?

Sebagai bangsa yang agamis, harus berani jujur mengakui, telah kalah langkah dari orang-orang dan bangsa yang justru sering dianggap sekuler dan kafir yang kenyataannya mampu membuktikan diri berhasil menangkap rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Hal ini terjadi mungkin karena orang sibuk bertengkar gara-gara perbedaan nilai-nilai pada tataran “kulit”, sekedar “baju” . Sehingga hidupnya selalu dirundung rasa curiga mencurigai sesama (su’udhon). Manakah yang lebih religius ? Mana pula yang sekedar agamis ? Jika kita tetap negatif thinking dan menutup mata, jangan menyalahkan siapa-siapa bila selamanya ketinggalan dalam segala hal dan jatuh dalam keterpurukan. Padahal, kenyataannya orang yang dapat meraih kemajuan dan kemuliaan hidup, adalah orang yang selalu positif thinking (khusnudhon). Sebaliknya, tiada bosan-bosannya mengkritik diri sendiri.

Ajaran Tentang Budi Pekerti,
(Menggapai Manusia Sejati)

Dalam khasanah referensi kebudayaan luhur dikenal berbagai literatur sastra yang mempunyai gaya penulisan beragam dan unik. Sebut saja misalnya; kitab, suluk, serat, babad, yang biasanya tidak hanya sekedar kumpulan baris-baris kalimat, tetapi ditulis dengan seni kesusastraan yang tinggi, berupa tembang yang disusun dalam bait-bait atau padha yang merupakan bagian dari tembang misalnya; pupuh, sinom, pangkur, pucung, asmaradhana dst. Teks yang disusun ialah yang memiliki kandungan unsur pesan moral, yang diajarkan tokoh-tokoh utama atau penulisnya, mewarnai seluruh isi teks.

Pendidikan moral budi pekerti menjadi pokok pelajaran yang diutamakan. Moral atau budi pekerti di sini dalam arti kaidah-kaidah yang membedakan baik atau buruk segala sesuatu, tata krama, atau aturan-aturan yang melarang atau menganjurkan seseorang dalam menghadapi lingkungan alam dan sosialnya. Sumber dari kaidah-kaidah tersebut didasari oleh keyakinan, gagasan, dan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang bersangktan. Kaidah tersebut akan tampak dalam manifestasi tingkah laku dan perbuatan anggota masyarakat.
Demikian lah makna dari ajaran luhur yang sesungguhnya, dengan demikian dapat menambah jelas pemahaman terhadap konsepsi pendidikan budi pekerti yang mewarnai kebudayaan Jawa. Hal ini dapat diteruskan kepada generasi muda guna membentuk watak yang berbudi luhur dan bersedia menempa jiwa yang berkepribadian teguh. Uraian yang memaparkan nilai-nilai luhur dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diungkapkan diatas dapat membuka wawasan pikir dan hati nurani bangsa bahwa dalam masyarakat kuno asli pribumi telah terdapat seperangkat nilai-nilai moralitas yang dapat diterapkan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup manusia.

Dua Ancaman Besar

Dalam ajaran luhur, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan, yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya.
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin. Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya, menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas kebangsaan


NAFSU

Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa yang disebut M5 atau malima; madat, madon, maling, mangan, main; mabuk-mabukan, main perempuan, mencuri, makan, berjudi.

Untuk meredam nafsu malima, manusia Jawa melakukan laku tapa atau “puasa”. Misalnya; tapa brata, tapa ngrame, tapa mendhem, tapa ngeli.

1.Tapa brata ;
Sikap perbuatan seseorang yang selalu menahan/puasa hawa nafsu yang berasal dari lima indra. Nafsu angkara yang buruk yakni lauwamah, amarah, supiyah.

2.Tapa ngrame;
Adalah watak untuk giat membantu, menolong sesama tetapi “sepi” dalam nafsu pamrih yakni golek butuhe dewe.

3.Tapa mendhem;
Adalah mengubur nafsu riak, takabur, sombong, suka pamer, pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam, termasuk “mengubur” amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak ingatan kita sendiri. Manusia suci adalah mereka yang tidak ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah dilakukan pada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua kejahatan yg pernah dilakukannya.

4.Tapa ngeli,
Yakni menghanyutkan diri ke dalam arus “aliran air sungai Dzat”, yakni mengikuti kehendak Gusti Maha Wisesa. “Aliran air” milik Tuhan, seumpama air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa “kebijaksanaan” alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara samudra kabegjan atau keberuntungan. Berbeda dengan “aliran air” bah, yang menuruti kehendak nafsu akan berakhir celaka, karena air bah menerjang wewaler kaidah tata krama, menghempas “perahu nelayan”, menerjang “pepohonan”, dan menghancurkan “daratan”.

PAMRIH

Pamrih merupakan ancaman ke dua bagi manusia. Bertindak karena pamrih berarti hanya mengutamakan kepentingan diri pribadi secara egois. Pamrih, mengabaikan kepentingan orang lain dan masyarakat. Secara sosiologis, pamrih itu mengacaukan (chaos) karena tindakannya tidak menghiraukan keselarasan sosial lingkungannya. Pamrih juga akan menghancurkan diri pribadi dari dalam, kerana pamrih mengunggulkan secara mutlak keakuannya sendiri (istilahnya Freud; ego). Karena itu, pamrih akan membatasi diri atau mengisolasi diri dari sumber kekuatan batin. Dalam kaca mata Jawa, pamrih yang berasal dari nafsu ragawi akan mengalahkan nafsu sukmani (mutmainah) yang suci. Pamrih mengutamakan kepentingan-kepentingan duniawi, dengan demikian manusia mengikat dirinya sendiri dengan dunia luar sehingga manusia tidak sanggup lagi untuk memusatkan batin dalam dirinya sendiri. Oleh sebab itu pula, pamrih menjadi faktor penghalang bagi seseorang untuk mencapai “kemanunggalan” kawula gusti.
Pamrih itu seperti apa, tidak setiap orang mampu mengindentifikasi. Kadang orang dengan mudah mengartikan pamrih itu, tetapi secara tidak sadar terjebak oleh perspektif subyektif yang berangkat dari kepentingan dirinya sendiri untuk melakukan pembenaran atas segala tindakannya.

Untuk itu penting kemukakan bentuk-bentuk pamrih yang dibagi dalam tiga bentuk nafsu:
1.Nafsu selalu ingin menjadi orang pertama,
yakni; nafsu golek menange dhewe; selalu ingin menangnya sendiri.
2.Nafsu selalu menganggap dirinya selalu benar; nafsu golek benere dhewe.
3.Nafsu selalu mementingkan kebutuhannya sendiri; nafsu golek butuhe dhewe.
Kelakuan buruk seperti ini disebut juga sebagai aji mumpung. Misalnya mumpung
berkuasa, lantas melakukan korupsi, tanpa peduli dengan nasib orang lain yang
tertindas.

Untuk menjaga kaidah-kaidah manusia supaya tetap teguh dalam menjaga kesucian raga dan jiwanya, dikenal di dalam falsafah dan ajaran Jawa sebagai lakutama, perilaku hidup yang utama. Sembah merupakan salah satu bentuk lakutama, sebagaimana di tulis oleh pujangga masyhur (tahun 1811-1880-an) dan pengusaha sukses, yang sekaligus Ratu Gung Binatara terkenal karena sakti mandraguna, yakni Gusti Mangkunegoro IV dalam kitab Wedhatama (weda=perilaku, tama=utama) mengemukakan sistematika yang runtut dan teratur dari yang rendah ke tingkatan tertinggi, yakni catur sembah; sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, sembah rasa. Catur sembah ini senada dengan nafsul mutmainah (ajaran Islam) yang digunakan untuk meraih ma’rifatullah, nggayuh jumbuhing kawula Gusti. Apabila seseorang dapat menjalani secara runtut catur sembah hingga mencapai sembah yang paling tinggi, niscaya siapapun akan mendapatkan anugerah agung menjadi manusia linuwih, atas berkat kemurahan Tuhan Yang Maha Kasih, tidak tergantung apa agamanya.


Rahasia Kekuatan Doa

Kami tidak akan membahas mengenai etika berdoa, karena dalam setiap agama tentunya sudah diajarkan mengenai tata cara dan etika berdoa, kami yakin para pembaca sudah lebih memahaminya. Tujuan kami menulis jauh dari maksud menggurui, semata hanya ingin berbagi pengalaman. Dengan kata lain, apa yang kami sampaikan juga pernah kami lakukan dan rasakan. Tujuan kami menulis adalah untuk berbagi kepada sesama, barangkali dapat memberi sedikit manfaat untuk para pembaca yang budiman. Dengan menggunakan akal budi dan hati nurani (nur/cahaya dalam hati) yang penuh keterbatasan kami berusaha mencermati, mengevaluasi dan kemudian menarik benang merah, berupa nilai-nilai (hikmah) dari setiap kejadian dan pengalaman dalam doa-doa kami.

Berkaitan dengan Waktu dan tempat yang dianggap mustajab untuk berdoa, kiranya setiap orang memiliki kepercayaan dan keyakinan yang berbeda-beda. Kedua faktor itu berpengaruh pula terhadap kemantapan hati dan tekad dalam mengajukan permemohonan kepada Tuhan YME. Namun bagi saya pribadi semua tempat dan waktu adalah baik untuk melakukan doa. Pun banyak juga orang meyakini bahw doanya akan dikabulkan Tuhan, walaupun doanya bersifat verbal atau sebatas ucapan lisan saja. Hal ini sebagai konsekuensi, bahwa dalam berdoa hendaknya kita selalu berfikir positif (prasangka baik) pada Tuhan. Kami tetap menghargai pendapat demikian

SULITNYA MENILAI KESUKSESAN DOA

Banyak orang merasa doanya tidak/belum terkabulkan. Tetapi banyak pula yang merasa bahwa Tuhan telah mengabulkan doa-doa tetapi dalam kadar yang masih minim, masih jauh dari target yang diharapkan. Itu hanya kata perasaan, belum tentu akurat melihat kenyataan sesunggunya. Memang sulit sekali mengukur prosentase antara doa yang dikabulkan dengan yang tidak dikabulkan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor berikut ;
1.Kita sering tidak mencermati, bahkan lupa, bahwa anugrah yang kita rasakan hari ini, minggu ini, bulan ini, adalah merupakan “jawaban” Tuhan atas doa yang kita panjatkan sepuluh atau dua puluh Tahun yang lalu. Apabila sempat terlintas fikiran atau kesadaran seperti itu, pun kita masih meragukan kebenarannya. Karena keragu-raguan yang ada di hati kita, akan memunculah asumsi bahwa hanya sedikit doa ku yang dikabulkan Tuhan.

2.Doa yang kita pinta pada Tuhan Yang Mahatunggal tentu menurut ukuran kita adalah baik dan ideal, akan tetapi apa yang baik dan ideal menurut kita, belum tentu baik dalam perspektif Tuhan. Tanpa kita sadari bisa saja Tuhan mengganti permohonan dan harapan kita dalam bentuk yang lainnya, tentu saja yang paling baik untuk kita. Tuhan Sang Pengelola Waktu, mungkin akan mengabulkan doa kita pada waktu yang tepat pula. Ketidaktahuan dan ketidaksadaran kita akan bahasa dan kehendak Tuhan (rumus/kodrat alam), membuat kita menyimpulkan bahwa doa ku tidak dikabulkan Tuhan.

3.Prinsip kebaikan meliputi dua sifat atau dimensi, universal dan spesifik. Kebaikan universal, akan berlaku untuk semua orang atau makhluk. Kebaikan misalnya keselamatan, kesehatan, kebahagiaan, dan ketentraman hidup. Sebaliknya, kebaikan yang bersifat spesifik artinya, baik bagi orang lain, belum tentu baik untuk diri kita sendiri. Atau, baik untuk diri kita belum tentu baik untuk orang lain. Kebaikan spesifik meliputi pula dimensi waktu, misalnya tidak baik untuk saat ini, tetapi baik untuk masa yang akan datang. Memang sulit sekali untuk memastikan semua itu. Tetapi paling tidak dalam berdoa, kemungkinan-kemungkinan yang bersifat positif tersebut perlu kita sadari dan terapkan dalam benak. Kita butuh kearifan sikap, kecermatan batin, kesabaran, dan ketabahan dalam berdoa. Jika tidak kita sadari kemungkinan-kemungkinan itu, pada gilirannya akan memunculkan karakter buruk dalam berdoa, yakni; sok tahu. Misalnya berdoa mohon berjodoh dengan si A, mohon diberi rejeki banyak, berdoa supaya rumah yang ditaksirnya dapat jatuh ke tangannya. Jujur saja, kita belum tentu benar dalam memilih doa dan berharap-harap akan sesuatu. Kebaikan spesifik yang kita harapkan belum tentu menjadi berkah buat kita. Maka kehendak Tuhan untuk melindungi dan menyelamatkan kita, justru dengan cara tidak mengabulkan doa kita. Akan tetapi, kita sering tidak mengerti bahasa Tuhan, lantas berburuk sangka, dan tergesa menyimpulkan bahwa doaku tidak dikabulkan Tuhan.
Tidak gampang memahami apa “kehendak” Tuhan. Diperlukan kearifan sikap dan ketajaman batin untuk memahaminya. Jangan pesimis dulu, sebab siapapun yang mau mengasah ketajaman batin, ia akan memahami apa dan bagaimana “bahasa” Tuhan. Dalam khasanah spiritual Jawa disebut “bisa nggayuh kawicaksanane Gusti”.

HAKEKAT DIBALIK KEKUATAN DOA
Agar doa menjadi mustajab (tijab/makbul/kuat) dapat kita lakukan suatu kiat tertentu. Penting untuk memahami bahwa doa sesungguhnya bukan saja sekedar permohonan (verbal). Lebih dari itu, doa adalah usaha yang nyata netepi rumus/kodrat/hukum Tuhan sebagaimana tanda-tandanya tampak pula pada gejala kosmos. Permohonan kepada Tuhan dapat ditempuh dengan lisan. Tetapi PALING PENTING adalah doa butuh penggabungan antara dimensi batiniah dan lahiriah (laten dan manifesto) metafisik dan fisik. Doa akan menjadi mustajab dan kuat bilamana doa kita berada pada aras hukum atau kodrat Tuhan;

1.Dalam berdoa seyogyanya menggabungkan 4 unsur dalam diri kita; meliputi; hati, pikiran, ucapan, tindakan. Dikatakan bahwa Tuhan berjanji akan mengabulkan setiap doa makhlukNya? tetapi mengapa orang sering merasa ada saja doa yang tidak terkabul ? Kita tidak perlu berprasangka buruk kepada Tuhan. Bila terjadi kegagalan dalam mewujudkan harapan, berarti ada yang salah dengan diri kita sendiri. Misalnya kita berdoa mohon kesehatan. Hati kita berniat agar jasmani-rohani selalu sehat. Doa juga diikrarkan terucap melalui lisan kita. Pikiran kita juga sudah memikirkan bagaimana caranya hidup yang sehat. Tetapi tindakan kita tidak sinkron, justru makan jerohan, makanan berkolesterol, dan makan secara berlebihan. Hal ini merupakan contoh doa yang tidak kompak dan tidak konsisten. Doa yang kuat dan mustajab harus konsisten dan kompak melibatkan empat unsur di atas. Yakni antara hati (niat), ucapan (statment), pikiran (planning), dan tindakan (action) jangan sampai terjadi kontradiktori. Sebab kekuatan doa yang paling ideal adalah doa yang diikuti dengan PERBUATAN (usaha) secara konkrit.

2.Untuk hasil akhir, pasrahkan semuanya kepada “kehendak” Tuhan, tetapi ingat usaha mewujudkan doa merupakan tugas manusia. Berdoa harus dilakukan dengan kesadaran yang penuh, bahwa manusia bertugas mengoptimalkan prosedur dan usaha, soal hasil atau targetnya sesuai harapan atau tidak, biarkan itu menjadi kebijaksanaan dan kewenangan Tuhan. Dengan kata lain, tugas kita adalah berusaha maksimal, keputusan terakhir tetap ada di tangan Tuhan. Saat ini orang sering keliru mengkonsep doa. Asal sudah berdoa, lalu semuanya dipasrahkan kepada Tuhan. Bahkan cenderung berdoa hanya sebatas lisan saja. Selanjutnya doa dan harapan secara mutlak dipasrahkan pada Tuhan. Hal ini merupakan kesalahan besar dalam memahami doa karena terjebak oleh sikap fatalistis. Sikap fatalis menyebabkan kemalasan, perilaku tidak masuk akal dan mudah putus asa. Ujung-ujungnya Tuhan akan dikambinghitamkan, dengan menganggap bahwa kegagalan doanya memang sudah menjadi NASIB yang digariskan Tuhan. Lebih salah kaprah, bilamana dengan gegabah menganggap kegagalannya sebagai bentuk cobaan dari Tuhan (bagi orang yang beriman). Sebab kepasrahan itu artinya pasrah akan penentuan kualitas dan kuantitas hasil akhir. Yang namanya ikhtiar atau usaha tetap menjadi tugas dan tanggungjawab manusia.

3.Berdoa jangan menuruti harapan dan keinginan diri sendiri, sebaliknya berdoa itu pada dasarnya menetapkan perilaku dan perbuatan kita ke dalam rumus (kodrat) Tuhan. Kesulitannya adalah mengetahui apakah doa atau harapan kita itu baik atau tidak untuk kita. Misalnya walaupun kita menganggap doa yang kita pintakan adalah baik. Namun kenyataannya kita juga tidak tahu persis, apakah kelak permintaan kita jika terlaksana akan membawa kebaikan atau sebaliknya membuat kita celaka.

4.Berdoa secara spesifik dan detil dapat mengandung resiko. Misalnya doa agar supaya tender proyek jatuh ke tangan kita, atau berdoa agar kita terpilih menjadi Bupati. Padahal jika kita bener-bener menjadi Bupati tahun ini, di dalam struktur pemerintahan terdapat orang-orang berbahaya yang akan “menjebak” kita melakukan korupsi. Apa jadinya jika permohonan kita terwujud. Maka dalam berdoa sebaiknya menurut kehendak Tuhan, atau dalam terminologi Jawa “berdoa sesuai kodrat alam” atau hukum alamiah. Caranya, di dalam doa hanya memohon yang terbaik untuk diri kita. Sebagai contoh; ya Tuhan, andai saja proyek itu memberi kebaikan kepada diriku, keluargaku, dan orang-orang disekitarku, maka perkenankan proyek itu kepadaku, namun apabila tidak membawa berkah untuk ku, jauhkanlah. Dengan berdoa seperti itu, kita serahkan jalan cerita kehidupan ini kepada Gusti Allah, Tuhan Yang Maha Bijaksana.

5.Doa yang ideal dan etis adalah doa yang tidak menyetir/mendikte Tuhan, doa yang tidak menuruti kemauan diri sendiri, doa yang pasrah kepada Sang Maha Pengatur. Niscaya Tuhan akan meletakkan diri kita pada rumus dan kodrat yang terbaik…untuk masing-masing orang ! Sayangnya, kita sering lupa bahwa doa kita adalah doa sok tahu, pasti baik buat kita, dan doa yang telah menyetir atau mendikte kehendak Tuhan. Dengan pola berdoa seperti ini, doa hanya akan menjadi nafsu belaka, yakni nuruti rahsaning karep.


Doa Merapakan Priyeksi Perbutan Kita .
(Amal Kebaikan Kita Pada sesama Menjadi Doa Tak Terucap Yang Mustajab)

Kalimat sederhana ini merupakan kata kunci memahami misteri kekuatan doa; doa adalah seumpama cermin !! Doa kita akan terkabul atau tidak tergantung dari amal kebaikan yang pernah kita lakukan terhadap sesama. Dengan kata lain terkabul atau gagalnya doa-doa kita merupakan cerminan akan amal kebaikan yang pernah kita lakukan pada orang lain. Jika kita secara sadar atau tidak sering mencelakai orang lain maka doa mohon keselamatan akan sia-sia. Sebaliknya, orang yang selalu menolong dan membantu sesama, kebaikannya sudah menjadi “doa” sepanjang waktu, hidupnya selalu mendapat kemudahan dan mendapat keselamatan. Kita gemar dan ikhlas mendermakan harta kita untuk membantu orang-orang yang memang tepat untuk dibantu. Selanjutnya cermati apa yang akan terjadi pada diri kita, rejeki seperti tidak ada habisnya! Semakin banyak beramal, akan semakin banyak pula rejeki kita. Bahkan sebelum kita mengucap doa, Tuhan sudah memenuhi apa-apa yang kita harapkan. Itulah pertanda, bahwa perbuatan dan amal kebaikan kita pada sesama, akan menjadi doa yang tak terucap, tetapi sungguh yang mustajab. Ibarat sakti tanpa kesaktian. Kita berbuat baik pada orang lain, sesungguhnya perbuatan itu seperti doa untuk kita sendiri.




Dalam tradisi spiritual terdapat suatu rumus misalnya :
1.Siapa gemar membantu dan menolong orang lain, maka ia akan selalu mendapatkan
kemudahan.
2.Siapa yang memiliki sikap welas asih pada sesama, maka ia akan disayang sesama
pula.
3.Siapa suka mencelakai sesama, maka hidupnya akan celaka.
4.Siapa suka meremehkan sesama maka ia akan diremehkan banyak orang.
5.Siapa gemar mencaci dan mengolok orang lain, maka ia akan menjadi orang hina.
6.Siapa yang gemar menyalahkan orang lain, sesungguhnya ialah orang lemah.
7.Siapa menanam “pohon” kebaikan maka ia akan menuai buah kebaikan itu.

Semua itu merupakan contoh kecil, bahwa perbuatan yang kita lakukan merupakan doa untuk kita sendiri. Doa ibarat cermin, yang akan menampakkan gambaran asli atas apa yang kita lakukan. Sering kita saksikan orang-orang yang memiliki kekuatan dalam berdoa, dan kekuatan itu terletak pada konsistensi dalam perbuatannya. Selain itu, kekuatan doa ada pada ketulusan kita sendiri. Sekali lagi ketulusan ini berkaitan erat dengan sikap netral dalam doa, artinya kita tidak menyetir atau mendikte Tuhan.


Berikut ini merupakan “rumus” agar supaya kita lebih cermat dalam mengevaluasi diri kita sendiri;
1.Jangan pernah berharap-harap kita menerima (anugrah), apabila kita enggan dalam
memberi.
2.Jangan pernah berharap-harap akan selamat, apabila kita sering membuat orang lain
celaka.
3.Jangan pernah berharap-harap mendapat limpahan harta, apabila kita kurang peduli
terhadap sesama.
4.Jangan pernah berharap-harap mendapat keuntungan besar, apabila kita selalu
menghitung untung rugi dalam bersedekah.
5.Jangan pernah berharap-harap meraih hidup mulia, apabila kita gemar menghina
sesama.
Lima “rumus” di atas hanya sebagian contoh. Silahkan para pembaca yang budiman mengidentifikasi sendiri rumus-rumus selanjutnya, yang tentunya tiada terbatas jumlahnya.

Doa akan memiliki kekuatan (mustajab), asalkan kita mampu memadukan empat unsur di atas yakni : hati, ucapan, pikiran, dan perbuatan nyata. Dengan syarat perbuatan kita tidak bertentangan dengan isi doa. Di lain sisi amal kebaikan yang kita lakukan pada sesama akan menjadi doa mustajab sepanjang waktu, hanya jika, kita melakukannya dengan ketulusan. Setingkat dengan ketulusan kita di pagi hari saat “membuang ampas makanan” tak berarti.

Jika Ingin Diberi , Memberilah Dahulu.

Dahulu saya pernah mengalami kebanyakan asa, lalu giat sekali berdoa bermacam-macam hal. Siang-malam berdoa isinya permohonan apa saja yang diinginkan. Waktu berdoa pun hanya pada waktu tertentu yang dianggap tijab. Tetapi saya masih merasakan kehampaan dalam hidup. Bahkan dirasakan realitas yang terjadi justru semakin menjauh dari harapan seperti yang terucap dalam setiap doa. Lama-kelamaan muncul kesadaran ada yang tidak beres dalam prinsip pemahaman saya ini.
Kesadaran diri muncul lagi manakala merasa sangat kurang dalam melakukan amal kebaikan terhadap sesama. Kami berfikir, betapa buruknya tabiat ini, yang selalu banyak meminta-minta, tetapi sedikit “memberi”. Coba mengingat apa saja kebaikan yang pernah kami lakukan pada sesama, Parah…sepertinya kok nggak ada… atau kami yang sudah lupa. Namun yang teringat justru keburukan dan kesalahan yang pernah kami lakukan pada teman, keluarga, orang tua, dan pada orang lain. Kami menjadi resah sendiri, merasa dalam kehidupan ini kami tidak bermanfaat samasekali untuk orang banyak, sementara kami nggak tahu malu dengan selalu meminta-minta terus Hyang Widhi. Egois, maunya enaknya sendiri. Berharap-harap memperoleh pemenuhan hak-hak sebagai manusia ciptaan Tuhan, tetapi enggan memenuhi kewajiban untuk beramal baik pada sesama.
Hingga pada suatu saat kami mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berarti, paling tidak menurut diri kami sendiri. Sejak itu, terjadilah perubahan paradigma dalam memandang dan memahami rumus Tuhan. Doa (harapan) adalah perbuatan konkrit. Sejak saat itu, dengan sekuat tenaga setiap saat ada kesempatan kami melakukan sesuatu yang kira-kira ada manfaat untuk orang lain. Dimulai dari hal-hal sepele, sampai yang tidak sepele. Dasar pemikiran kami adalah kesadaran sebagai makhluk Tuhan yang telah menerima sekian puluh atau ratus anugrah dalam setiap detiknya. Namun kenyataannya manusia tiada rasa “malu” setiap saat selalu meminta pada Tuhan. Lantas kapan bersukurnya ? Jika berdoa memohon sesuatu, kami lebih banyak melakukannya untuk mendoakan teman, kerabat, keluarga. Sedangkan untuk diri sendiri, tiada yang pantas dilakukan selain lebih banyak mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan.
Banyak mengucapkan syukur di bibir saja tidak cukup. Kami harus lebih pandai mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan. Rasa bersyukur serta doa-doa melebur dan mewujud ke dalam satu perbuatan. Rasa sukur termanifestasikan kedalam perbuatan yang bermanfaat untuk banyak orang. Demikian pula cara berdoa tidak sekedar terucap melalui mulut, namun lebih penting adalah mewujud dalam perbuatan nyata.
Cara kami berdoa seperti itu mungkin terasa “aneh dan nyleneh” bagi beliau-beliau yang telah berilmu tinggi dan menguasai ajaran agama secara teksbook. Akan tetapi prinsip dan cara-cara itulah yang kami pribadi rasa paling pas. Maklum saya ini orang bodoh yang masih belajar ke sana-kemari. Tetapi paling tidak, kami secara pribadi telah membuktikan manfaat dan hasilnya. Mohon maaf apabila banyak kata dan ucapan yang kurang berkenan, saya menyadari sebagai orang yang masih bodoh banyak kekurangan, tetapi memaksa diri untuk menulis.

Membangun Kesadaran Rasa Sejati
“Melatih diri mengolah intuisi dan Rasa Sejati”

Prologue
Alur penalaran logis menganggap bahwa awal dari ke-ada-an segala sesuatu adalah ketiadaan. Kata filsuf ke-tiada-an itu ada yang tiada. Kalimat tersebut sebagai premis mayor mengawali isi fikiran para filsuf kuno sebagai tahap awal prestasi kesadaran akal-budinya dalam memahami hukum alam yang universal ini.

Namun benarkah demikian ke-ada-an yang sesungguhnya ? Atau jangan-jangan hakekat ketiadaan adalah hanya semata karena ketidaksadaran manusia saja ? Saya pribadi enggan meletakkan justifikasi pada ke-tiada-an. Sebaliknya lebih senang memilih hipotesis kedua yakni bukan ke-tiada-an lah sesungguhnya yang ada, namun ketidaksadaran manusia. Dengan asumsi bahwa sulitnya mengetahui rumus kebenaran sejati yang tersimpan rapat dalam relung jagad raya bagaikan sulitnya menelusuri alam kegaiban, yang membutuhkan pengerahan indera batin (ke-enam). Lebih sulit lagi karena kebanyakan manusia gagal mereduksi hegemoni panca indera (jasad). Jika demikian halnya manusia layak mengibarkan “bendera putih” sebagai sikap menyerah atas segala keterbatasan kemampuannya. Lantas kesadaran semu dengan buru-buru mengambil keputusan meyakinkan sbb; adalah tabu mengutak-atik ranah gaib, karena ia hanya membutuhkan keyakinan saja. Dalam kesadaran “semu” ini menjadi sangat bermanfaat kita mengumpulkan pengalaman dan pengetahuan orang perorang yang beragam agar menjadi satu kesatuan ilmu untuk menggugah kesadaran manusia. Dibutuhkan sikap membuka diri agar kesadaran semakin meningkat. Pada tataran kesadaran tertentu seseorang akan sampai pada pemahaman bahwa : “kebenaran sejati ibarat cermin yang pecah berantakan, sedangkan kesadaran akal budi, kepercayaan, ajaran, sistem religi, kebudayaan, tradisi merupakan satu di antara serpihan cermin itu”.

Kesadaran; Alat Untuk Membuka Rahasia Rumus Tuhan
Adalah menjadi tugas umat manusia untuk membuka tabir rahasia kehidupan. Baik dimensi fisik (wadag), maupun dimensi metafisik berupa misteri alam kegaiban. Semakin banyak kita mengungkap hukum-hukum alam, kodrat alam atau kodrat Tuhan, maka akan semakin banyak terungkap misteri kehidupan ini. Sedangkan saat ini, prestasi manusia seluruh dunia mengungkap rahasia kehidupan mungkin belum lah genap 0,0000000001 % dari keseluruhan rahasia yang ada. Terlebih lagi rahasia eksistensi alam gaib.

Kebenaran rasio seumpama membayangkan laut. Kebenaran empiris melihat permukaan air laut. Kebenaran intuitif ibarat menyelam di bawah permukaan air laut. Tugas penjelajahan ke kedalaman dasar laut bukan lah tugas akal-budi, namun menjadi tugasnya sukma sejati yang dibimbing oleh rasa sejati. Intuisi telah menyediakan pengenalan bagi siapapun yang ingin menyelam ke kedalaman laut. Jangan heran bilamana akal-budi disodorkan informasi aneh (asing dan nyleneh) serta-merta bereaksi menepis ..it’s nonsense ! Reaksi yang lazim & naif hanya karena akal-budi kita lah yang sesungguhnya sangat terbatas kemampuannya. Lain halnya dengan kecenderungan perilaku orang-orang post-modernis tampak pada perilaku orang-orang sukses di masa kini. Mereka percaya akan kemampuan intuisi. Malah dengan bangga memproklamirkan diri jika kesuksesannya berkat dimilikinya talenta intuisi yang tajam. Dengan kata lain untuk meraih sukses tak cukup hanya berbekal teori-teori ilmu ilmiah serta pengalaman akal-budi (rasionalisme-empirisisme) saja.

Kesadaran adalah Proses yang Dinamis.

Berawal dari ketidaksadaran lalu berproses menjadi kesadaran tingkat awal yakni kesadaran jasad/ragawi. Dari kesadaran jasad meningkat menjadi kesadaran akal-budi yang diperolehnya setelah manusia mampu menganalisa dan menyimpulkan sesuatu yang dapat ditangkap oleh panca-indera. Seiring perkembangan kedewasaan manusia, kesadaran akal-budi (nalar/rasio) meningkat secara kualitatif dan kuantitatif. Tahap ini seseorang baru disebut orang yang pandai atau kaya ilmu pengetahuan. Kesadaran akal-budi ini bersifat lahiriah atau wadag, jika dikembangkan lebih lanjut akan mencapai kesadaran yang lebih tinggi yakni kesadaran batiniah.


Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta

Semakin tinggi kesadaran manusia (high consciuousness) menuntut tanggungjawab yang lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan lebih serta dapat melakukan apa saja. Celakanya, bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan melakukan sesuatu yang konstruktif untuk alam semesta (rahmat bagi alam), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif (laknat kepada alam). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam semesta dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta) dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebagai contoh kita mengakui bahwa Tuhan itu Maha Maha Pengasih maka kita harus welas asih pada sesama. Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam membantu dan menolong sesama. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka kita tak boleh primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri, kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; maka kita tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an, yakni rasa mau menang sendiri, mau bener sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain. Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi berkah untuk lingkungan sekitar, untuk alam semesta dengan segala isinya.

Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada hukum/rumus alam yang paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi) alam semesta. Penentangan rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan manusia yakni kehancuran peradaban bahkan kehancuran bumi. Dalam terminologi Jawa tanggungjawab atas dicapainya kualitas kesadaran manusia tampak dalam pesan-pesan arif nan bijaksana untuk meredam nafsu misalnya; ngono yo ngono ning aja ngono (jangan berlebihan atau lepas kendali), aja dumeh (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap eling dan waspadha.

Memahami kesadaran tidaklah mudah, karena bekalnya adalah kesadaran pula. Sebagaimana digambarkan dalam filosofi Jawa dalam bentuk saloka : Nggawa latu adadamar ; …membawa api untuk mencari api”. Hal itu menjadi satu problematika tersendiri (the problem of consciousness) umpama tamsil ; ..kalau ingin cari makan untuk mengisi perutmu, syaratnya perutmu harus kenyang dulu.

TAHAP-TAHAP KESADARAN

1. Kesadaran Jasad
Kesadaran jasad adalah kesadaran tingkat dasar atau awal pada manusia. Kesadaran paling dasar ini terjadi pada waktu bayi baru lahir di dunia belum memiliki kesadaran akal budi. Namun melalui pancaindera raganya telah memiliki sensitifitas merespon rangsang atau stimulus. Misalnya jika tubuh bayi merasakan gerah atau digigit nyamuk reaksi si bayi akan menangis. Reaksi dapat bekerja otomatis karena setiap makhluk hidup dibekali sensor keselamatan berupa naluri. Naluri sebagai alat sederhana yang terdapat di tubuh kita yang berfungsi ganda menciptakan kesadaran sekaligus pelindung diri. Melalui naluri inilah sekalipun akal-budi belum mampu mengolah kesadaran namun jasad telah lebih dulu mampu merespon rangsangan-rangsangan yang membahayakan dirinya. Menangis adalah salah satu cara menjaga diri (survival) yang paling alamiah dan sederhana bagi manusia. Namun demikian kesadaran jasad berikut ubo rampe naluri ini masih setara dengan kesadaran yang dimiliki binatang. Misalnya sekelompok burung melakukan eksodus karena akan terjadi pergantian musim. Burung tersebut hanya berdasarkan naluri kebinatangannya saja untuk mengetahui kapan musim segera berganti. Atau induk binatang yang menyusui anaknya hingga usia tertentu kemudian indungnya menyapih. Itu semua bukan berasal dari kesadaran akal-budi melainkan berdasarkan kesadaran jasad saja. Kesadaran naluri tidak diperlukan proses belajar karena naluri akan berkembang secara alamiah dengan sendirinya tanpa perlu pendidikan nalar atau akal-budi. Jika ada sekolah gajah di dalamnya bukanlah proses belajar mengajar yang melibatkan kegiatan analisa akal-budi. Hanya berupa pembiasaan naluri (tanpa analisa) dengan cara menyakiti tubuh (hukuman) dan hadiah/menyamankan tubuh (stick & carrot). Pembiasaan naluri ini merupakan cara-cara paling maksimal yang sanggup direspon oleh naluri hewani.

Pada tingkat kesadaran ini mahluk hidup tidaklah mengenal nilai-nilai baik-buruk, dan nilai spiritual (roh/jiwa). Akan tetapi perilakunya telah mengikuti hukum alam yang paling sederhana, paling penting, namun mudah direspon semua makhluk hidup. Perilaku binatang hanya sekedar mengikuti hukum alam sebagai bentuk harmonisasi dengan alam semesta. Misalnya hukum rimba, siapa yang kuat secara fisik akan memenangkan pertarungan. Semakin kuat binatang, jumlah populasinya semakin sedikit dan tidak mudah berkembang biak. Hukum alam tampak pula pada pola hubungan mata rantai makanan. Binatang pemakan akan lebih sedikit jumlahnya daripada binatang yang dimakan. Sehingga bila salah satu mata rantai makanan mengalami kerusakan akibat ulah manusia akan mengganggu sistem keseimbangan alam. Sedangkan bencana alam yang bersifat alamiah (force major) atau di luar kekuatan manusia pada galibnya merupakan hukum alam pula, yakni proses seleksi alam menuju keseimbangan alam (harmonisasi).

Pada tahap kesadaran jasad ini tidak ada nilai baik dan buruk. Prinsip kebenaran manakala segala sesuatu berjalan sesuai hukum atau kodrat keseimbangan alam lahir, bukan kebenaran sejati yang ada dalam alam batin. Sekalipun membunuh, binatang tidaklah bersalah, karena ia hanya mempertahankan wilayahnya, atau demi memenuhi kebutuhan perutnya. Setara dengan perbuatan bayi mengencingi jidat presiden bukanlah pelanggaran norma hukum dan norma sosial. Karena kesadaran bayi sepadan dengan kesadaran hewani atau orang hilang ingatan, yakni sebatas kesadaran jasad dan tentunya belum berada dalam koridor konsekuensi norma baik dan buruk. Bayi dan hewan tidak memiliki tanggungjawab sebagai konsekuensi atas kesadaran jasadnya, lain halnya dengan kesadaran akal-budi manusia dewasa. Sudah menjadi kodrat atau rumus alam bahwa semakin tinggi kesadaran makhluk hidup, akan membawa dampak pada tanggungjawab lebih besar pula.

2. Kesadaran Akal Budi
Setingkat lebih tinggi dari kesadaran jasad adalah kesadaran akal-budi atau rasio. Kesadaran akal budi berkaitan erat dengan proses pembelajaran dan sosialisasi (pendidikan). Pada usia tertentu seorang bayi akan mulai belajar memanggil ibunya, ayahnya, bisa tersenyum dan minta susu. Hal itu terjadi karena kesadaran jasadnya telah mengalami transformasi pada kesadaran aka-budi. Ditandai kemampuan akal-budinya merespon rangsangan atau stimulus. Rangsang atau stimulus tak ubahnya data yang akan diproses oleh software akal-budi menggunakan hardware otak. Maka kesadaran akal-budi merupakan kegiatan ilmiah yang melibatkan pengolahan data-data. Pada tahap ini upaya manusia mengungkap tabir misteri hukum alam sudah lebih maju karena menggunakan kemampuan rasio atau akal budinya. Selanjutnya kesadaran akal-budi dibagi menjadi dua yakni kesadaran dengan metode penalaran rasio (rasionalisme) dan pembuktian secara empiris (empirisisme).

1. Kesadaran Nalar
Sejarah filsafat Barat mencatat ada dua aliran pokok dalam lingkup epistemologi. Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peranan akal, idea, category, form, sebagai nara sumber ilmu pengetahuan. Tingkat kesadaran diri akan suatu nilai kebenaran diperoleh melalui kemampuan penalaran rasio saja dalam arti mengandalkan kekuatan logika. Kesadaran akan bertambah secara kuantitas bilamana suatu fenomena yang empiris dapat diterima akal atau memiliki sistematika pemikiran yang logis. Dengan ketentuan ini fenomena sudah cukup dianggap nilai kebenaran walau terkadang bersifat parsial. Kelemahan kesadaran rasionalisme adalah mensyaratkan kita tidak cukup bekal (nggawa latu) sebagai alat komparasi atau landasan silogismenya. Rasionalisme dalam menjelaskan realitas berdasarkan atas kategori-kategori akal saja. Aristoteles sebagai penerus Plato melakukan pendekatan realisme menemukan alat ukur yang disebut organon. Prinsip organon mampu menjelaskan segala sesuatu yang ada (fenomenon). Namun Organon sebagai metode pengajaran atau penjelasan yang bersifat deskriptif belum mampu melakukan eksplanasi secara mendalam. Pada akhirnya dengan metode tersebut Aristoteles menyadari tidak mampu bertindak lebih banyak terutama dalam upaya menjelaskan eksistensi di luar diri (being) yang melampaui akal-budi manusia.

Kesadaran akal-budi bertujuan mengungkap sisi kebenaran akan sesuatu hal yang rasional, realis, dan empiris. Namun kebenaran dalam scope kesadaran ini masih bersifat kebenaran koherensi. Yakni kebenaran dapat diketahui jika ada suatu pernyataan atau premis kemudian diikuti oleh premis yang lain yang mendukungnya. Dari dua premis ini kemudian dapat ditarik kesimpulan (conclusion) sehingga menjadi kebenaran kesimpulan yang sesuai dengan sistematika rasio manusia (logic).

2. Kesadaran Empirisisme
Sebagai jawaban atas kelemahan Aristoteles dengan prinsip Organon selanjutnya ditemukan alat ukur lain yang ditemukan Francis Bacon yakni Novum Organum. Bagi Bacon kebenaran sesuatu itu tidak boleh hanya dijelaskan saja tetapi harus dilakukan pembuktian empiris melalui eksperimen. Di dalamnya harus ada proses menjadi. Hal itu memicu kesadaran empiris dengan metode eksperimentasi. Dalam perkembangannya empiricism disebut juga realism yaitu mazab yang lebih menekankan peran indera jasad sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan. Kedua aliran tersebut lahir di Yunani pada tahun 423-322 SM. Selain kedua aliran tersebut masih ada beberapa aliran lain di antaranya, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomenologi dan lain-lainnya. Kesemuanya lahir setelah masa renaissance abad pertengahan di Barat.

Dalam kesadaran empiris prinsip kebenaran dipahami sebagai kebenaran korespondensi. Yakni kebenaran setelah dilakukan cross-chek antara pernyataan dalam ide atau gagasan, dengan realitas faktual yang ada. Misalnya garam itu asin, menjadi kebenaran bila kita sudah melakukan pembuktian dengan mencicipi rasa garam.

Pada tahap ini spiritualitas yang berhasil dibangun baru pada tahap sekulerisme. Semua hukum alam, sains dan teknologi dicapai manusia melalui pengalaman empiris. Para penganutnya disebut mazab empirisisme. Kesadaran diperoleh hanya melalui instrumen akal-budi dan indera jasad semata. Konsekuansinya, religi dan sistem kepercayaan serta hukum-hukum alam haruslah dapat diterima dalam batas kemampuan akal-budi dan indera jasad semata.

Dalam perkembangan selanjutnya kedua metode pencari kesadaran (kebenaran) di atas dirasakan masih sangat relatif apalagi dalam upaya mencapai kesadaran sejati dirasakan masih teramat jauh karena masing-masing pendekatan terdapat kelemahan secara signifikan.

Dinamika Kesadaran A La Barat

Sejenak kita flash back, sejak ditemukan filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan manusia untuk meningkatkan kesadaran atau mencari kebenaran. Lahir perpaduan antara cabang filsafat empirisisme dengan rasionalisme yang menuntut eksperimen sebagai upaya verifikasi kebenarannya. Sejak itu sains dan teknologi berkembang, filsafat menemukan cabang-cabang keilmuannya secara luas. Orang mulai mengenal metode meraih kesadaran akal-budinya melalui filsafat ontologi, ephistemologi, dan aksiologi, tiga langkah metodis yang saling berkorelasi sebagai pisau pengupas rahasia hukum alam yang belum terkuak. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?

Epistemologi mempunyai persoalan pokok secara garis besar terbagi dua. Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Apakah sifat dasar pengetahuan?. Kedua, versus hakikat (noumena/essence): Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?

Penggabungan kedua metode tersebut membuat suatu kemajuan pesat di bidang kowledge pada zaman renaissance. Ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, ekonomi mengalami perkembangan sangat pesat. Hal itu menjadi prestasi besar kesadaran manusia mampu membaca dan mengungkap rahasia-rahasia hukum/rumus/kodrat alam yang masih tersimpan rapat-rapat sebelumnya. Sesuatu yang pada abad-abad sebelumnya dianggap tidak masuk akal, bertentangan dengan hukum alam, pada masa tersebut menjadi sangat rasional, masuk akal dan tak terbantahkan sebagai wujud temuan baru akan hukum-alam.

Begitulah manusia di belahan Barat bumi dalam dinamika kesadaran dan menemukan hakekat/essence kehidupan (noumena) di jagad raya ini. Manusia selalu berusaha menjabarkan apa sesungguhnya alam semesta ini dan bagaimana sesungguhnya ia terjadi. Planet bulan diketahui memiliki jarak yang sangat jauh dengan bumi, pada zaman dulu pergi ke bulan dianggap hal yang mustahil atau melawan kodrat/hukum alam. Anggapan pesimis tersebut merupakan bentuk keterbatasan kesadaran akal budi dalam menterjemahkan rumus atau hukum alam. Sekalipun hal yang bersifat kasat mata wadag (fenomena) toh tugas menterjemahkan hukum alam sangat rumit dan teramat sulit. Namun bila diperhatikan begitu manusia mampu mengungkap rahasia ilmu atau rumus alam semesata tiba-tiba kita supraise ternyata manusia mampu seolah “melawan kodrat” hukum alam. Hanya dengan bekal kurang lebih 300 Milyar Rupiah anda sudah dapat menikmati piknik ke bulan.

Penemuan Bacon meskipun efeknya sangat luar biasa namun menemukan keterbatasan pula ketika berhubungan dengan nilai-nilai, kematian, jiwa, roh, kenyataan yang paradoks, Tuhan, realitas yang transenden serta kenyataan yang tidak bisa dieksperimentasi atau dibawa ke laboratorium. Maka Novum Organum tidak mampu menjawabnya.

Keterbatasan Kesadaran Akal Budi :
Kesadaran tinggi (high consciuousness) diperlukan untuk mengetahui noumena, berupa realitas hakekat atau essence. Dalam rangka membangun kesadaran tinggi pengetahuan akal budi kemampuannya sangat terbatas karena terdapat berbagai kelemahan mendasar. Paling tidak dapat dikemukakan tiga alasan berikut.
1.Pertama, sebatas pengetahuan kognitif (cognitive science). Kesadaran akal-budi semata-mata sebagai bagian dari fungsi otak yang kemudian berkembang (emerge). Kesadaran dalam pendekatan ini mengatakan : “…dipandang sebagai berkembanganya jaringan-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis. Kesadaran adalah sesuatu yang bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak manusia. Kesadaran yang dihasilkan adalah bersifat obyektif atas apa yang bisa dilihat dengan indera atau fenomena. Kesadaran model ini sering digunakan untuk menjelaskan akan kejadian alam yang di dalamnya mengandung rangkaian hukum sebab-akibat. Namun kita harus menyadari bahwa semua data-data sangat terbatas dengan apa yang dapat ditangkap oleh indera jasad.
2.Kedua, sebatas penafsiran subyektif. Melalui instrospeksionisme (introspectionism). Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang pertama yang tertuju pada sesuatu obyek di luarnya. Kesadaran lantas dilakukan dengan cara penafsiran. Penafsiran terhadap realitas didasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari dan dialami sendiri dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Kesadaran akal budi pada taraf ini belum mampu menjawab akan energi metafisika yang melampaui fisika.
3.Ketiga, bersifat relative-obyektif. Dalam disiplin sosiologi terdapat pendekatan psikologi sosial. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh misalnya teori marxisme dan generasinya (marxianism: sosialisme, komunisme leninisme dan stalinisme). Kapitalisme, konstruktivisme, dan hermeneutika kultural. Semua pendekatan ini berakar pada satu asumsi bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di kepala individu melainkan ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat. Masih dalam perspektif sosiologis sistem kepercayaan masyarakat (agama, ajaran, sistem nilai, kebiasaan, adat-istiadat, dan tradisi) merupakan bagian dari sistem budaya. Sekalipun dianggap sebagai bentuk kesadaran tinggi (spiritual) namun nilai-nilai religi tidak lepas dari jaringan makna kultural tertentu. Dengan kata lain masih berada dalam lingkup relative-obyektif. Hal ini dapat dilihat dari istilah dan bahasa yang terdapat pada kalimat-kalimat suci, serta ritual-ritual atau kegiatan seremonial keagamaan yang kental dengan sistem budaya tertentu. Termasuk nilai-nilai sakral dan mistisnya tampak berkaitan dengan legenda dan sejarah nenek-moyang masyarakat tertentu berupa warisan sistem religi primitif animisme dan dinamisme.

KESADARAN INTUITIF
Menjawab kelemahan Bacon di atas, seorang filsuf P.D. Ouspensky memperkenalkan alat ukur baru yang disebut Tertium Organum. Yakni kebenaran yang bersifat intuitif yang merangkum keduanya, tesisnya bahwa kenyataan itu harus rasional dan harus dieksperimentasi. Namun tidak berhenti di situ saja karena di dalamnya akan terjadi proses perkembangan atau evolusi kesadaran menuju kesadaran tingkat tinggi (higher consciuousness) untuk memperoleh kenyataan tingkat tinggi (higher reality). P.D. Ouspensky menyebut temuan metodenya dengan berbagai istilah: Mistycal Locic, Extase Logic, Paradoxical Logic. Sebuah metode sebagai upaya yang pasti menuju kebenaran kenyataan yang esensial (noumena). Tampaknya Ouspensky memiliki kesadaran bahwa realitas di luar rasio belum tentu sebagai sesuatu ke-tidakbenar-an. Bisa jadi hanyalah ketidak-tahuan rasio manusia semata sehingga seseorang seyogyanya membuka diri pada hal-hal yang terkesan irasional sekalipun. Pemikiran Ouspensky mengajak kita agar selalu berpositif thinking dalam memandang segala sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar yang seolah tidak masuk akal atau non-sense. Dengan postulat bahwa manusia itu lebih banyak yang belum diketahui daripada yang sudah diketahui mengenai apa yang terjadi dalam jagad raya. Positive Thinking harus dibarengi dengan sikap ragu-ragu. Namun bukanlah ragu-ragu yang menyepelekan, tetapi ragu-ragu agar menjadi tahu (skeptisisme). Dengan kata lain, Ouspensky secara tidak langsung mengatakan orang yang merasa paling tahu atau merasa diri telah mengetahui banyak hal sesunggunya ia orang yang tidak banyak tahu. Mafhum lah kita mengapa sikap para filsuf besar Yunani tampak paradoksal dengan mengatakan bahwa; semakin banyak tahu, justru dirinya merasa semakin banyak yang tidak diketahuinya.

Teori intuisi menyebutkan bahwa intuisi atau pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam. Karena itu penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaannya. Sehingga mereka dianggap genius-genius dalam spiritual. Sementara itu Pengertian intuisi menurut Webster Dictionary adalah kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau wawasan langsung tanpa melalui penalaran dan observasi terlebih dahulu. Senada dengan itu menurut psikolog sosial dan sekaligus pengikut Guru Besar Psikologi Daniel Kahneman pada Princeton University, David G. Myers (Intuition; Its power and perils; 2002) pemikiran intuitif itu layaknya persepsi, sekelebat gambaran, dan tanpa usaha. Kalimat Kahneman yang menjadi pedoman Myers adalah ; ….kami mempelajari berbagai intuisi, beragam pemikiran dan preferensi yang mendatangkan pikiran secara cepat tanpa banyak refleksi.

Berangkat dari kesadaran betapa sulitnya membuat suatu teori dalam ranah intuitif yang banyak mengandung misteri kehidupan, lebih lanjut Ken Wilber (dalam: An Integral Theory of Consciousness, 1997) menyarankan agar melakukan pendekatan secara integratif. Setidaknya menempuh dua langkah berikut; Pertama penelitian yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang sama-sama ingin memahami fenomena kesadaran manusia. Karena disadari bahwa eksistensi kesadaran adalah suatu enigma, yakni sesuatu yang misterius. Suatu ke-ada-an di balik realitas fisik (metafisika), beyond side. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma ini. Setiap pendekatan penting, dan layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembangkan penelitiannya. Saran Wilber sangat bijaksana, namun demikian, pendekatan integral ini lebih terasa sebagai himbauan moral saja. Ia tidak mengkonsep secara tegas dalam tataran aksiologi sebagai terobosan ilmu pengetahuan.

Dasar manusia, tak pernah merasa puas akan hasil pencapaiannya maka dikemukakan lagi pendekatan yang lebih canggih untuk menggali kemampuan intuisi manusia. Disebut sebagai teori energi-energi halus (subtle energies). Di dalam pendekatan ini, hipotesis penelitian dilakukan dengan berpijak pada asumsi atau pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi ini mempengaruhi kesadaran dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki banyak nama lain, seperti tenaga dalam, aura, prana, ki, dan chi. Wilber secara sederhana melihat bahwa energi kehidupan ini merupakan penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan kesadaran manusia, dan sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju pada dunia luarnya.

Meredam Arogansi Ilmiah.

Jika dilihat sekilas beberapa pendekatan di atas terlihat sangat erat dengan unsur mistik, sehingga tidak jarang kadar ilmiahnya diragukan. Akan tetapi, paling tidak Wilber menegaskan bahwa fenomena kesadaran itu tidak melulu ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun sebenarnya bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini arogansi ilmiah sedapat mungkin harus dicegah. Saran Wilber tersebut patut dijadikan warning, betapa pendekatan ilmiah yang bertumpu pada akal dan paca indera saja seringkali justru membatasi kemampuan manusia dalam mengungkap misteri kehidupan. Hegemoni arogansi ilmiah justru membuat manusia teralienasi dengan ke-ada-an misteri kehidupan yang sejatinya. Sama halnya dengan statemen-statemen “orang suci” yang telah menghegemoni kesadaran intuisi umat manusia dengan doktrin yang menciutkan hati. Ironis sekali, sebuah kekeliruan fatal manusia karena ketidakpercayaan akan kemampuan intuisinya sendiri, hanya karena merasa rasio akal-budi adalah segalanya. Secara moral agama sikap tersebut juga menafikkan intuisi sebagai anugrah Tuhan pada diri manusia. Sebaliknya, siapaun yang tertarik mengembangkan intuisi harus meredam arogansi ilmiah termasuk arogansi dogma-dogma, lalu membuka diri pada hal-hal yang ada di luar rasio atau akal-budi kita. Jika rasio anda meragukan daya kerja intuisi –bukanlah keputusan yang tepat– bisa jadi hal itu semata-mata karena akal-budi dan rasio belum terbiasa menerima serta menyaksikan sendiri kebenaran intuitif yang ada (being) di luar fikiran kita sebagai kebenaran esensial noumena.

Benar kalimat nenek-moyang bangsa kita, Nggawa latu adadamar. Maka ada satu hal yang harus kita sadari sebagai modal utama untuk membuka kesadaran intuitif kita. Yakni, adanya kesadaran bahwa kecenderungan rasio manusia yang sulit menerima sesuatu yang baru dan terlalu rumit untuk dicerna akal-budi, sekalipun hal-hal bersifat empiris dan rasional bagi orang lain yang telah memahaminya. Terlebih lagi hal-hal bersifat hakekat yang abstrak dan gaib. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman pribadi, dan informasi yang lengkap serta sarana pembanding lainnya, sebagai data komparatif yang akan diolah rasio.

Kesadaran Intuisi Sebagai Sumber Kebenaran.

Sekalipun gaib/abstrak, daya kerja intuisi dapat dibuktikan secara logic dan empiris. Hanya saja pembuktian terencana dan empiris lebih sulit dilakukan. Karena pada umumnya intuisi tidak terkelola dengan baik sehingga daya kerjanya hanya bersifat spontanitas saja. Pembuktiannya juga lebih sering bersifat (seolah-olah) kejadian spontanitas sehingga dianggap kejadian yang “kebetulan” yang tidak ada korelasinya. Seorang enterpreneur sejati, seniman dan orang-orang sukses kadang menggunakan intuisinya untuk memilih mana orang yang tepat sebagai partner, mencermati peluang bisnis dan menciptakan kesempatan emas untuk membangun sebuah usaha. Disiplin ilmu menjadi sekedar alat untuk menggaris bawahi atau menguatkan kebenaran intuisinya di samping sebagai alat pembuktian secara obyektif. Intuisi adalah awal dari kesadaran kita sekaligus menjadi jurus untuk membuka jalan mana yang tepat dan benar untuk dipilih.

Berbagai tradisi intelektual memperkenalkan teknik mengolah intuisi yang bersifat kontemplatif. Dalam pandangan ini kesadaran berada pada tingkatan yang lebih rendah dari yang seharusnya bisa dicapai manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu melakukan praktek meditasi dan yoga. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai jika orang melakukan praktek tersebut secara konsisten. Tak puas hanya dengan melakukan kontemplasi, terdapat pendekatan Psikologi Perkembangan. Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal tetapi sebagai dinamika yang terus berkembang di dalam proses. Setiap tahap di dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial dan harus dianalisis menurut kekhususannya masing-masing. Pendekatan ini juga menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia berupa kemampuan supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kognitif, afektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.

Contoh Bekerjanya Intuisi
Intuisi adalah hal yang sepele namun tak bisa dianggap sepele. Karena melalui intuisi pula manusia mampu meraih kesuksesan. Dengan intuisi pula manusia kadang berhasil untuk mengungkapkan rahasia alam dan kehidupan. Betapa dahulu para ilmuwan diperingatkan jika metode berkembang biak makhluk hidup melalui cloning adalah sebuah ide atau gagasan non-sense dan kontroversial karena bertentangan dengan norma agama serta dianggap bertentangan dengan rumus/kodrat Tuhan (baca: kodrat alam). Namun demikian riset dan ujicoba tak pernah berhenti hingga al hasil benar-benar membuktikan bila makhluk hidup dapat berkembang biak melalui proses pembiakan/penggandaan unsur genetika milik sendiri.

Dalam alur demikian, intuisi diakui sebagai metode pencari kebenaran, sebab masih tetap membutuhkan verifikasi atau pembuktian sebagai alat pengujian kebenarannya. Namun berbeda dengan metode ilmiah lainnya karena dalam metode intuisi kita tidak dapat mendominasi pembuktian intuisi. Posisi kita sebagai obyek intuisi sangatlah determinan, hanya menunggu bukti itu terjadi dengan sendirinya. Selain itu pembuktian empiris intuisi tidak bersifat instan, terkadang memakan waktu cukup panjang melibatkan beberapa generasi usia manusia, rentang waktunya bisa mencapai puluhan hingga ratusan tahun ke depan. Artinya, intuisi menjadi kebenaran setelah menunggu puluhan hingga ratusan tahun yang akan datang. Lamanya pebuktian menjadikan intuisi seolah hanya sebagai omong kosong belaka.

Contoh lain misalnya; dalam situasi dan kondisi yang teramat darurat anda harus mengambil keputusan yang sangat fital. Tidak ada waktu berlama-lama berfikir, tiba-tiba hati anda tergerak, atau bahkan seolah mendengar “bisikan gaib”, dan hati terasa menemukan kemantaban memilih salah satu jalan keluarnya. Keputusan tersebut lebih cepat dibandingkan dengan proses berfikir anda sendiri. Setelah anda mengikuti suara hati dan “bisikan” tersebut, di kemudian hari anda benar-benar membuktikan sendiri sebagai keputusan yang paling tepat. Saya yakin, para pembaca yang budiman pernah mengalami kejadian serupa.

Bekerjanya intuisi kita biasanya dimulai dari kasus-kasus sederhana. Sebagai contoh misalnya: anda tiba-tiba merasakan keinginan kuat dari dalam lubuk hati untuk menelpon teman anda yang lama tak ada kabar berita. Setelah anda menelpon ternyata teman anda sedang mengharapkan bantuan anda. Contoh lain misalnya anda tak tahu entah alasan apa namun merasa ingin sekali kembali ke rumah. Ternyata sampai di rumah anda mendapati seorang pencuri mencoba masuk ke rumah anda. Anda bebas mengartikan intuisi anda sebagai ilham, ataukah nurani, bisikan gaib, karomah, wangsit, laduni atau sasmita. Ilustrasi yang lain, misalnya anda sedang memikirkan seseorang, tiba-tiba orang yang bersangkutan menelpon atau mengunjungi anda. Jika anda mengelola intuisi bukanlah hal yang sulit untuk menggali potensi besar anda yang masih tersimpan. Tidak mengherankan bila suatu waktu anda dapat menyaksikan warna-warna metafisik berupa warna-warna aura seseorang hanya dengan mata wadag anda. Lebih dari itu anda dapat menjawab teka-teki (enigma), semakin mudah menyaksikan eksistensi gaib (noumena) di sekitar anda.

Semua masih dalam lingkup daya kerja instrumen jiwa yang bernama intuisi disebut pula six-sense. Alat detektor makhluk halus yang dulu dianggap mustahil diciptakan, akhir-akhir ini manusia-manusia di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman dan Amerika dengan pemberdayaan intuisinya berhasil memperoleh temuan baru (discovery) dengan ditemukan alat pendeteksi hantu atau roh. Di negara-negara maju dengan bimbingan intuisi satu misteri kehidupan telah berhasil diungkap bersama teknologi modern. Bahkan apa yang dilakukan para sastrawan dan pujangga nusantara di masa lalu berhasil membuat prediksi-prediksi besar dan satu demi satu sudah terbukti merupakan metode yang jauh lebih canggih dari alat-alat dan metode ilmiah paling kontemporer sekalipun. Hal itu menunjukkan kesadaran tinggi manusia (higher consciuousness) tidak sekedar spontanitas semata, namun semakin dapat dibuktikan secara ilmiah dan memenuhi syarat menjadi kenyataan obyektif yang diakui sebagai salah satu metode memperoleh kebenaran.

Pertanyaannya; Mungkinkah suatu saat ditemukan kamera canggih yang dapat mengambil gambar wujud roh ? Tidak tertutup kemungkinan ! Mungkin sudah menjadi kodrat/rumus Tuhan bahwa perkembangan kesadaran intuisi (batin) manusia berkembang lebih pesat jauh meninggalkan kesadaran akal-budi.

Dari contoh-contoh di atas tampak bahwa intuisi bekerja secara misterius, kesadarannya dapat melampaui kecepatan kesadaran akal-budi. Pembuktiannya seringkali tidak bersifat instan. Sehingga kebenaran intuitif kadang sulit diterima akal-budi. Sekalipun menolak intuisi suatu waktu anda dipaksa juga harus mengakui intuisi anda sendiri setelah terjadi peristiwa spontan sebagai pembuktian tak terbantahkan. Lain halnya bagi siapa saja yang sudah terbiasa mengalami dan membuktikan kebenaran intuisi yang dulu berada di luar fikiran menjadi biasa dan tidak aneh lagi. Betapa intuisi mampu “memaksa” alam semesta untuk membuka segenap enigma sebagai noumena, kebenaran esensial yang terjadi di luar kesadaran rasio manusia.

Pemberdayaan Intuisi ala Timur.

Intuisi sering bersifat spontan disebut pula sebagai given (anugrah dari Tuhan) yang kedatangannya tak dapat kita jadwalkan. Meskipun demikian intuisi dapat dikelola agar dapat dikendalikan dan diatur kapan kita ingin memanfaatkan intuisi. Upaya ini berfungsi mengubah intuisi spontan menjadi kesadaran tetap.

Javanese Tradition
Manusia memiliki kecenderungan ontologis untuk selalu berupaya mencapai kesempurnaan dengan mengetahui kasunyatan (kebenaran sejati). Salah satu upaya tidak saja bersifat rasional (akal-budi) dan empiris (pengalaman jasad) namun merambah dalam unsur rasa di luar jasad (six-sense). Dengan mengasah intuisi atau pemberdayaan indera (ke-enam) sebagai indera perasa kita yang ada dalam rasa sejati (bukan indera perasa jasad). Setiap orang memiliki rasa sejati sebagai indera ke-enam (six sense). Namun demikian six sense kita ibarat masih terbungkus kulit yang tebal. Untuk memberdayakan intuisi maka indera ke-enam terlebih dahulu harus dikupas “bungkus”nya yang bermakna nafsu negatif. Hampir senada, Dr. A Ciptoprawiro (dalam bukunya: Filsafat Jawa; 1986) mencoba menjelaskan intuisi dengan mengatakan kesadaran intuitif melibatkan instrumen dasar manusia berupa perasaan & pengetahuan.

Perlu saya tegaskan di sini dalam konteks perasaan pengetahuan tersebut harus dibedakan dengan perasaan panca indra. Perasaan pengetahuan merupakan perasaan di luar panca indera jasadiah. Dalam spiritualitas Jawa disebut sebagai rahsa sejati atau rasa jati. Untuk mempermudah penggambarannya dapat diperbandingkan dengan arti kata tela’ah, atau berfikir dengan hati. Yakni berfikir secara intutif, dalam terminologi Jawa dikenal sebagai makna dalam ungkapan menggalih (analisa menggunakan rasa). Dalam suasana yang rumit atau saat menghadapi suatu persoalan berat, orang Jawa sering mengatakan, akan melakukan ngenggar-enggar penggalih. Sebagai sebuah cara yang akan meningkatkan kesadaran aku kepada kesadaran pribadi. Kesadaran aku atau kesadaran rasa sejati tidak bersifat statis tetapi dapat berubah dinamis apabila diri kita melakukan upaya-upaya peningkatan kesadaran.

Tradisi luhur mengenal tata cara dan menejemen intuisi yang dapat diumpamakan mengupas bungkus yang menutupi indera ke-enam kita. Yakni antara lain dengan cara semedi, maladihening, mesu budi, tarak brata, tapa brata, dan laku prihatin. “Bungkus” adalah kiasan untuk menggambarkan nafsu negatif atau keinginan jasadiah. Setelah nafsu negatif “dikupas” kemudian akan muncul sensitifitas rahsa sejati, yakni berupa indera ke-enam kita yang menjadi “mata tombak” mengungkap kebenaran melalui intuisi. Nenek-moyang bangsa kita telah menemukan dan memberdayakan intuisi ini sejak zaman animisme dan dinamisme 1500-100 SM jauh sebelum semua agama-agama “impor” masuk ke bumi nusantara. Tak bisa dipungkiri daya jangkau intuisi mampu mencapai ruang-ruang gaib dengan menyaksikan noumena, berbagai eksistensi metafisika nan mistis. Justru dalam wahana ruang lingkup mistis inilah intuisi dapat berkembang dengan pesat. Hingga sekarang metode intuisi telah mengalami kemajuan sangat pesat khususnya di dalam tradisi dan kebudayaan Jawa yang kental akan mistisism. Inilah sejatinya apa yang disebut para ahli spiritual Jawa sejak era sebelum Majapahit sebagai pemberdayaan rahsa sejati dengan cara: nyidhem rahsaning karep, murih jumedule kareping rahsa. Mengendalikan nafsu, agar intuisi menjadi tajam (waskitha). Betapa pentingnya mengendalikan nafsu sampai-sampai dalam segala lini kehidupan tradisi Jawa selalu disipkan pepéling (pengingat) termasuk dalam tradisi kesenian tembang terdapat gaya pangkur. Pangkur bermakna nyimpang såkå piålå, mungkúr såkå nafsu dur angkårå.

Dalam tradisi Jawa keberhasilan mengolah intuisi dapat dilihat pada kewaskitaan para Pujangga kita yang mampu menjadi sastrawan, seniman dan futurolog masyhur seperti ; KGPAA Mangkunegoro IV, Raden Ngabehi Ranggawarsita, P Jayabaya, RM Sastra Nagara, Mbah Ageng (Ki Metaram) Juru Nujum Sri Sultan HB IX, KPH Cakraningrat dan masih banyak lagi. Di negara barat seperti Nostradamus, Jucelino Noberga da Luz dan Franciscoshabiz (Brazilia), John Naisbitt, Suku Bangsa Maya dll. Berbagai ajaran spiritual Jawa bertumpu pada kekuatan intuisi masing-masing individu. Individu dapat mengembangkan sendiri-sendiri semampunya. Sehingga pencapaian hasilnya berbeda-beda. Ahli spiritual Jawa tidak mengenal kasta atau derajat pangkat melainkan dapat dicapai siapapun yang “gentur laku” mulai dari wong cilik, rakyat biasa, petani, seniman, pandhita, usahawan, hingga bangsawan. Namun biasanya olah spiritual bangsawan masa lalu lebih terkelola secara rapi dan terorganisir. Hingga sekarang Kraton masih eksis berfungsi sebagai cagar budaya sekaligus menjadi centrum cagar spiritual hasil “olah batin” para leluhur bumi nusantara.

Pada saat ini ilmu yang tersimpan di dalam kraton telah dipublikasikan melalui berbagai gubahan, buku-buku kajian budaya dsb. Paling tidak terdapat suatu nilai ajaran yang penting diperhatikan yakni prinsip dalam spiritual Jawa memandang bahwa perbedaan pemahaman spiritual menjadi hal yang sangat lazim dan ditoleransi. Dalam tradisi Kejawen tidak dikenal kitab suci, nabi, habib, orang suci dsb karena adanya pemahaman bahwa masing-masing orang telah dibekali kemampuan intuitif sejak lahir sebagai talenta untuk menemukan kebenaran sejati. Lagi pula ajaran spiritual Jawa membahas masalah esensi atau hakekat yang berada dalam ruang universalitas nilai. Tidak diperlukan pelembagaan sebagaimana agama-agama di muka bumi. Karena pelembagaan akan beresiko fragmentasi, terkotak-kotak terbatas dalam ruang yang sempit. Konsekuensinya adalah luasnya ruang spiritual dalam wahana batin terjebak pada ruang fisik yang sempit dan penuh keberagaman jasad.

Dalam tradisi spiritual Jawa dikenal istilah ilmu padi, semakin tua semakin berisi, dan semakin merunduk. Disebut juga ngelmu tuwa, yang berhasil meraihnya disebut “uwong tuwa” atau sesepuh. Yang tua bukan fisik atau usianya tetapi ilmunya atau ngelmune tuwa atau orang yang tinggi ilmunya. Maka sejatinya orang yang berilmu tinggi justru semakin rendah hati, berlagak seolah bodoh (mbodoni), namun tetap sopan dan santun berhati-hati dalam berbuat dan berucap. Jika berhadapan langsung pun kadang justru tampak bodoh tak bisa ditebak, misterius, tidak bisa disangka-sangka dan diduga-kira ketinggian falsafah hidupnya.

Bagi yang enggan atau tidak sempat mengolah intuisi bukan berarti gagal total, selama ia masih mau membuka diri dan selalu berpositif thinking. Hanya saja ia tidak dapat menyaksikan langsung kedahsyatan eksistensi beyon side, eksistensi yang ada di luar akal-budi kita (noumena). Setiap orang sebenarnya mudah mengembangkan intuisi dalam diri. Asal mau membiasakan diri ; memperhatikan, mencermati, dan merasakan getaran dalam hati paling dalam, yang tak bisa dipungkiri atau ditolak. Intuisi mengirim getaran sinyal ke dalam hati pada detik-detik pertama, selanjutnya adalah imajinasi yang akan mendominasi akal budi kita. Imajinasi tidak bisa dipercaya karena memuat segala angan dan khayalan keinginan jasad (rahsaning karep). Sedangkan getaran intuisi dalam hati disebut pula sebagai hati nurani (kareping rahsa).

Jika diurutkan cara bekerjanya intuisi adlh sebagai berikut:
1. rahsa sejati (kareping rahsa) .
2. sukma sejati (guru sejati).
3. getaran hati (nurani).
4. intuisi.
5. respon otak (imajinasi)

Bandingkan dengan kronologi nafsu berikut ini :
1. obyek yang menyenangkan.
2. panca indera.
3. hati.
4. respon otak (imajinasi atau perencanaan pemenuhan hasrat/keinginan jasad).

Kesadaran

Dalam ilmu Jawa dikenal beberapa tingkatan kesadaran manusia. Diurutkan dari bawah yakni;
(1) Jasad,
(2) akal-budi,
(3) nafsu,
(4) roh,
(5) rasa (indera ke-enam),
(6) cahya,
(7) atma.
Intuisi setara dengan kesadaran urutan ke lima.
Dilihat dari tingkat kesadaran ini manusia dibedakan ke dalam dua kelompok: yakni orang pilihan, dan orang awam.

Orang Awam (kesadaran lahiriah)
Untuk menunjuk tingkat kesadaran seseorang yang mencapai taraf kesadaran jasad, akal-budi, dan nafsu. Dalam tataran ini seseorang masih dapat memahami nilai sopan santun, kearifan, dan kawicaksanan. Namun seseorang belum sampai pada menyaksikan langsung (nawung kridha) atau wahdatul wujud, sebaliknya pengetahuannya hanya berdasarkan ajaran yang tertulis (teksbook, referensi) dan dari mulut ke mulut, kulak jare adol jare, ceunah ceuk ceunah, serta yang tak tertulis namun masih dapat disaksikan melalui panca indera jasad, misalnya berbagai macam fenomena atau gejala alam. Kesadaran yang melibatkan unsur cipta, rasa, karsa. Namun ketiganya bukanlah pengalaman batin sendiri.

Orang Pilihan (kesadaran batiniah).

Untuk memilah seseorang yang telah mencapai kesadaran batin yang meliputi kesadaran jiwa atau kesadaran roh, kesadaran rasa sejati, kesadaran cahya, dan kesadaran atma. Tataran kesadaran ini dalam terminologi Jawa lazim disebut Nawung Kridha atau orang yang berbudi-pekerti luhur, lazim pula disebut orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi. Semakin tinggi spiritualitas seseorang berarti tingkat kesadarannya semakin tinggi pula. Disebut juga sebagai satu mungging rimbagan, yakni orang yang telah mencapai kesadaran spiritual dengan ditandai pencapaian tataran curiga manjing warangka, atau dwi tunggal (loroning atunggil), pamoring kawula Gusti, atau manunggaling kawula Gusti. Dalam agama Budda kurang lebih sepadan dengan orang yang menggapai hakikat Nirvana, sedangkan dalam terminologi Latin sebagai Imago Dei, sementara istilah mistis Arab disebut sajjaratul makrifat yakni orang-orang yang wahdatul wujud. Kesadaran seseorang pada tataran ini dalam memahami hakekat “setan”, surga, dan neraka tidak sama pada umumnya Orang Biasa. Bagi orang pilihan ia akan berani mati sajroning ngaurip (mati di dalam hidup). Artinya nafsu keduniawian atau nafsu jasadiah (rahsaning karep) dimatikan, sedangkan yang hidup adalah rasa sejati (kareping rahsa). Kegiatan ini umpama mengolah lahan gersang menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya six-sense kita.

Beberapa Tipe Orang Pilihan
Berkaitan dengan tingkat kesadaran ini, memilah manusia menjadi tiga tipe yakni :

1.Tipe Etis :
yakni kemanunggalan antara kawula dengan Gusti, hasilnya adalah waskita dan susila anor raga. Orang pilihan tipe etis telah mampu megharmonisasi antara batin dengan perbuatannya. Kemanunggalan manusia setelah melebur ke dalam Zat Tuhan ini digambarkan dalam cerita wayang dengan lakon Wisnu Murti, yakni Prabu Kresna masuk ke dalam tubuh Dewa Wisnu. Atau sebaliknya, Zat Tuhan yang melebur di dalam manusia digambarkan dalam lakon wayang Bimasuci, tatkala Dewaruci merasuk ke dalam tubuh Sena. Penggambaran akan manusia yang menguasai kesadaran triloka yakni alam gaib, kesadaran alam batin, dan alam wadag. Istilah yang digunakan dalam mistis Islam disebut rijalul gaib.

2.Tipe Kosmologis :
yakni olah lahir dan olah batin seseorang melebur dalam kosmos universal dan mengeliminasi egoisme atau individualitas. Orang pilihan tipe kosmos mencapai high consciuousness dengan cara membebaskan diri dari belenggu alam empiris materiil. Tindakan pembebasan dari belenggu alam empiris materiil menuju pada eksistensi transenden. Dalam keadaan ini kesadaran seseorang meningkat dari kesadaran diri materiil, menjadi kesatuan mutlak sebagai bentuk kesadaran rahsa sejati, yakni pemahaman akan kebenaran sejati pada kehidupan ini. Batin kita akan menjadi batin patipurna; batin yang bebas dari polusi, halusinasi, dan imajinasi jasad (akal-budi) semata. Maka secara emanatif manusia digambarkan akan kembali ke asal muasalnya yakni ke dalam hakekat cahya sejati nan suci. Inilah nilai tradisi Kejawen dalam wahana dimensi vertikal dengan yang transenden yakni; sangkan paraning dumadi. Asal dan tujuan manusia adalah Zat Mahamulya (adi kodrati/ajali abadi). Dalam spiritual Jawa dikenal alam kelanggengan nan suci, atau alam kasampurnan sejati yakni tempat berkumpulnya/kembalinya arwah para leluhur yang berhasil mensucikan diri semasa hidup di dunia. Dengan berbekal kesuksesan mensucikan diri akan menjadi modal utama yang menempatkan roh berada dalam wahana cahya sejati (disebut pula nurulah). Asal roh adalah hakekat cahya yang suci maka roh harus kembali dalam kondisi cahya suci pula. Inikah yang sebenarnya sebagai hakekat “malaikat” ? silahkan anda telaah sendiri.

3.Tipe Teologis :
Tipe ini banyak kemiripan dengan tipe kosmologis hanya saja terdapat perbedaan mendasar dengan adanya istilah-istilah yang berasal dari kitab suci atau ajaran nabi. Pada tipe kosmologis terbuka untuk diperdebatkan secara rasional locic sebagaimana tradisi Kejawen. Sedangkan tipe teologis sangat tertutup bagai monumen sejarah. Sikap kritis sering dianggap menentang, melecehkan dan sesat. Terkesan tipe teologis hanya membutuhkan keyakinan saja. Dari rasa yakin lalu menjadi percaya. Penilaian terhadap kesadaran intuitif manusia, kadang diasumsikan sangat berbahaya mudah tergelincir oleh “bisikan setan”. Resikonya agama akan mengalami stagnansi bagai monumen sejarah yang untouchable makin lama kian lapuk dan ditinggalkan manusia ultramodern. Tradisi ilmiah beberapa filsuf, sejarawan, antropologi, sosiologi, arkeologi, memandang agama sebagai tipe kesadaran kosmologis manusia masa lampau, yang telah dilembagakan sebagai sistem religi masyarakat tertentu. Dan sistem religi ini dalam perspektif psikologi sosial merupakan bentuk kesadaran relative obyektif sesuai dengan sistem sosial budaya masyarakat di mana suatu agama dahulu dilembagakan.

4.Ngelmu Kasampurnan
Ujung dari proses perkembangan kesadaran manusia adalah diraihnya kesempurnaan hidup (ngelmu kasampurnan), atau ilmu kesempurnaan, wikan sangkan paran. Filsafat hidup yang termuat di dalam Ngelmu kasampurnan adalah gambaran kesadaran tertinggi manusia (highest consciuousness). Maka dalam istilah Jawa ilmu kasampurnan disebut pula ilmu kasunyatan, ilmu tuwa, ilmu sangkan paran. Hampir sepadan dalam tradisi mistis Islam disebut makrifat. Idiom Jawa memiliki banyak istilah untuk menggambarkan manusia yang berhasil menggapai ilmu kasampurnan, yakni; jalma limpat seprapat tamat, jalma sulaksana waskitha (weruh) sadurunge winarah. Artinya seseorang yang memahami kebijaksanaan hidup dan memiliki kemampuan mengetahui peristiwa-peristiwa di luar jangkauan ruang dan waktu serta di luar kemampuan akal-budi (kawaskithan). Pedoman hidup atau kebijaksanaan yang dihayati adalah ; wikan sangkan paran, mulih mulanira, dan manunggal. Memahami asal muasal manusia, kembali kepada Hyang Mahamulya, dan manunggal ke dalam kesucian Zat.

Pencapaian kesempurnaan hidup dalam serat Wedhatama disebut sebagai pamoring suksma, roroning atunggil. Menurut serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro IV, ilmu kasampurnan disebut pula sebagai ngelmu nyata, ngelmu luhung atau akekat. Cara pencapaian kesadaran tingkat tinggi ini, di capai melalui empat tahapan sembah, atau catur sembah; yakni sembah raga, sembah cipta/kalbu, sembah jiwa/sukma, dan sembah rasa, dan meraih rahsa sejati (lihat thread; Serat Wedhatama).
Wedha adalah petunjuk atau laku/langkah, Tama adalah utama atau luhur/mulia, yakni ilmu tentang perilaku utama atau budi pekerti yang luhur. Dalam serat Wedhatama mencakup ajaran perilaku ragawi yang kasad mata (solah tingkah), perilaku hati, dan perilaku batin (bawa/perbawa) yang meliputi jiwa dan rahsa. Dalam rangka menggapai kesempurnaan hidup hendaknya ke-empat perilaku tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh. Sehingga secara garis besar terbagi menjadi dua bentuk kesatuan perilaku lahir dan batin. Keduanya harus dibangun dalam wujud korelasi yang harmonisasi, sinergis antara perbuatan lahir atau solah, dan perbuatan batin atau båwå. Wujud solah akan merefleksikan keadaan båwå dalam batin, namun kesadaran båwå juga termanifestasikan ke dalam wujud solah. Apabila tidak terjadi sinkronisasi antara solah dan båwå, yang terjadi adalah sikap inkonsisten, kebohongan, mencla-mencle atau plin-plan. Dalam ranah agama disebut sebagai sikap munafik. Sebaliknya indikator manusia yang telah memperoleh kesadaran tinggi (spiritual) dalam lingkup ngelmu kasampurnan dapat dicermati tingkat pemahamannya yang termanifestasikan dalam beberapa barometer berikut ini ;

1. Madu Basa.
Meliputi adab, sopan-santun, tata cara, kebiasaan mengolah tutur kata dalam pergaulan. Madu adalah manis, bukan berarti konotasi negatif seseorang yang gemar bermulut manis. Namun maksudnya adalah seseorang yang mampu membawa diri, mawas diri atau mulat sarira. Kata-kata yang tidak menyakitkan hati orang lain. Ucapan yang menentramkan hati dan fikiran. Tutur kata yang bijaksana, bermutu atau berkualitas, dan selalu menyesuaikan pada keadaan dan lawan bicara. Maka dikatakan ajining diri kerana lathi. Kehormatan atau harga diri seseorang tergantung pada apa yang ada dalam ucapannya. Dalam pribahasa Indonesia terdapat tamsil berupa peringatan agar mewaspadai mulut kita, “mulutmu harimau mu”. Madu Basa adalah seseorang yang pandai mengolah kata sehingga dalam menyampaikan kritikan, penilaian, protes dan nasehat mampu menggunakan bahasa yang simple, mudah dipahami, tidak menyinggung perasaan orang lain dan mudah diterima oleh orang yang dituju. Itulah bahasa akan menjadi “madu” tergantung pada kemampuan kita memadu bahasa. Ibaratnya ikan dapat ditangkap dan airnya tidak menjadi keruh.

2. Madu Rasa
Meliputi empan papan, tepa selira, unggah ungguh, iguh tangguh, tuju panuju, welas asih, kala mangsa, duga prayoga. Madu rasa adalah bentuk kesadaran tinggi atau kesadaran batin (SQ). Termanifestasikan dalam rasa kasih sayang yang tulus kepada sesama, tanpa membedakan suku, agama, warna kulit, golongan, pandai-bodoh, kaya miskin, drajat pangkat. Sebuah kesadaran batin yang mampu memahami bahwa derajat manusia adalah sama di hadapan Sang Pencipta. Perbedaan kemuliaan hidup seseorang ditentukan tingkat kesadaran lahiriah dan batiniahnya, serta ditentukan oleh perilaku dan perbuatannya apakah bermanfaat atau tidak untuk sesama. Seseorang yang menghayati madu rasa, mampu ngemong (mengendalikan) gejolak nafsu diri sendiri, maupun ngemong gejolak nafsu orang lain. Keadaan mental seseorang madu rasa, memiliki kematangan, tangguh, ulet dan tekun, bertekad kuat, gigih dan tidak mudah putus asa, segala sesuatu terencana secara matang, memperhitungan segala resiko. Cermat, cakap, tanggap, empatik dan peduli lingkungan.

3. Madu Brata

a.Pertama, meliputi sikap eling dan waspadha, eling terhadap sangkan paraning dumadi, dan waspadha terhadap segala hal yang menjadi penghambat upaya mencapai nglemu kasampurnan.
b.Kedua, madu brata diistilahkan pula keberhasilan sikap sebagai nawung kridha. Untuk menyebut seseorang yang dapat menyaksikan sendiri bahwa dalam menempuh kemuliaan hidupnya diperlukan kesadaran lalu memahami akan karakter, sifat-sifat, tabiat alam, gejala dan tanda-tanda kebesaran Hyang Maha Mulya yang sangat beragam. Madu brata, “madu”nya perilaku dalam menjalani kehidupan ini. Terletak pada kesadaran bahwa manusia sebagai jagad kecil, dan alam semesta sebagai jagad besar memiliki hubungan yang harmonis dan sinergis. Namun demikian manusia lah yang harus pandai beradaptasi dan sensitif dalam merespon gejala alam. Madu bråtå sepadan dengan sikap hamemayu hayuning bawånå.
c.Ketiga, pangastuti dan rasa sejati yang dimilikinya dapat dimanage dengan baik, bukan lagi menjadi alam bawah sadar namun telah berhasil membangkitkan kesadaran mutlak yang mampu meredam watak sura dira jayaningrat melebur dalam pangastuti. Seseorang memiliki daya batin yang jinurung ing gaib, yakni sejalan dengan rumus Tuhan yang terangkum dalam hukum alam, atau kodrat alam lahir maupun alam batin sebagai “bahasa” dari kodrat Ilahiah. Maka Idune idu geni (ludahnya ludah api), kehendaknya adalah kehendak Tuhan, sehingga apa yang diucap terwujud (sabda pendhita ratu).

Senada dengan serat Wedhatama, dapat dilihat dalam Filsafat Widyatama, terdapat dalam suluk Sukma Lelana, karya KRT Ronggo Warsito. Di dalamnya terdapat ajaran tentang Widyatama atau ajaran tentang lakutama, yakni perilaku utama, atau budi pekerti yang luhur. Dikemas dalam bentuk seni sastra dan budaya lainnya yang mengandung nilai filsafat kehidupan adiluhung, dalam rangka meraih kearifan dan kebijaksanaan hidup (ngudi kawicaksanan), serta mengupayakan kesempurnaan hidup (ngudi kasampurnan). Di dalamnya diungkapkan beberapa tataran kesadaran manusia, yakni kesadaran jasad, kesadaran batin dan tentang kesempurnaan (kasampurnan). Orang yang ngudi kawicaksanan dan kawaskitan disebut sebagai seorang jalma sulaksana.

Kemampuan Hewan dengan Manusia

Mengulas tulisan dari awal hingga akhir tampak perbedaan tingkat kesadaran yang amat jauh antara naluri dengan intuisi. Dalam dunia hewan naluri sebagai alat utama yang mampu menjaganya tetap berada pada jalur kodrat alam atau kodrat Sang Pencipta jagad raya. Sedangkan manusia yang hanya berbekal kemampuan akal yang tinggi akan lebih sulit menempatkan diri pada jalur hukum alam atau kodrat Tuhan. Hal ini sekilas tampak paradoksal namun kenyataannya demikian adanya. Karena di satu sisi akal manusia keberadaannya di dalam bungkusan nafsu. Resikonya adalah penguasaan nafsu atas jiwa (lihat thread; Mengenal Jati Diri; Hakekat Neng ning nung nang). Di sisi lain otak manusia dapat berubah menjadi sumber imajinasi yang keliru, resikonya berupa salah tafsir, salah sangka, salah duga, salah kira.

Jalan satu-satunya menyelamatkan diri adalah peningkatan akan kesadaran, sehingga mudah memilah mana kebenaran sejati mana kepalsuan. Jika manusia tidak memiliki tingkat kesadaran yang layak manusia beresiko tinggi mendapat malapetaka kehidupan karena secara sadar atau tidak dapat terjebak nafsu ragawi dan imajinasi akal yang palsu. Akal sering dibangga-banggakan manusia karena diyakini mampu mengangkat derajat kemanusiaannya. Terlebih lagi manusia mengklaim diri dengan dimilikinya akal menjadikannya sebagai makhluk paling sempurna. Tapi jangan gegabah, akal bagaikan pisau bermata dua. Mata yang satunya dapat memuliakan manusia, mata yang satu lagi sebaliknya dapat menyebabkan sebuah malapetaka besar manusia menjadi makhluk paling hina di dunia.

Dalam konteks demikian tentunya hewan lebih merdeka dibanding manusia, karena hewan terbebas dari segala tanggung jawab atas kemampuannya. Sebaliknya manusia terbebani untuk memper-tanggung-jawabkan atas segala kemampuan, kelebihan dan kesadaran yang dimilikinya. Hewan tidak punya pilihan sedangkan manusia memiliki berjuta pilihan. Salah memilih resikonya adalah malapetaka di dunia maupun setelah ajal tiba.


Tidak ada orang pandai yang tidak pernah salah,
Tidak ada orang bodoh yang tidak pernah benar.

Satu kebenaran intuitif seseorang
bagaikan satu bintang di antara trilyunan bintang
Sedangkan kemampuan manusia mengungkap kebenaran intuitif
Tidak sebanyak jumlah manusia di bumi
Apalagi sebanyak bintang di langit

Pesan Leluhur :
Tansaho manembah
marang Gusti Ingkang Akaryo Jagad.
tansah eling lan waspodo,


Bimbingan dan Wejangan Luhur

Untuk meraih kemuliaan sejati:
1.Harus selalu ingat dan tunduk kepada Tuhan
2.Tak boleh menyakiti hati dan mencelakai orang lain.
3.Hati tak boleh kotor dengan rasa iri dan kebencian
4.Ringan menolong orang susah, tanpa pamrih dan jangan takabur (tapa ngrame).
5.Sedekahlah (donodriyah) ; yang paling tinggi nilainya di hadapan Tuhan adalah sedekah materi, kedua sedekah tenaga, ketiga sedekah tutur-kata yang baik, keempat yang paling rendah nilainya adalah sedekah doa.
6.Ikhlas setinggi-tingginya, yakni keikhlasan yang dapat diumpamakan dengan orang buang hajad besar.
7.Jangan ikuti “air bah” yang suka menerjang aturan dan hakekat kemanusiaan, tetapi ikutilah “aliran air sungai” atau tapa ngeli (mengikuti kehendak Tuhan) agar mencapai pada muara keberuntungan kemudian masuk ke dalam lautan kemuliaan hidup.
8.Jika kamu berbuat baik pada orang lain, jangan harapkan balasannya, sekalipun kamu dibalas dengan kejahatan. Sebaliknya bertransaksilah dengan Tuhan, jangan dengan orang itu, sebab transaksi dengan Tuhan akan mendatangkan kebaikan yang berlipat ganda untuk diri kita sendiri melalui banyak orang disekitarmu. Intinya, jangan sekali-kali kamu membangkit atau mengungkit-ungkit kebaikan yang pernah kamu lakukan pada orang lain, tetapi kuburlah kebaikan dalam-dalam hingga kamu lupa (tapa mendhem)
9.Anugerah agung itu tak ada yang gratis, semua memakai “uang tebusan” berupa keprihatinan, dan penderitaan. Penderitaan dan keprihatinan yang kamu jalani dengan ikhlas dan legowo itu sesungguhnya akan menjadi tabungan “uang tebusan” yang akan ditukar dengan anugrah. Semakin besar penderitaan, semakin besar anugrah yang telah disiapkan Tuhan untuk mu. Maka dalam penderitaan kamu jangan suka grenengan, grundelan, karena tindakan itu hanya akan menghapus tabungan “uang tebusan” mu. Penderitaan yang telah kamu jalani sekian lama hanya menjadi sia-sia, kamu tak kan memperoleh apa-apa darinya kecuali penderitaan itu saja. (tapa mbisu)

Semua perbuatan itu yang baik maupun yang jahat, pasti akan berbalik berlipat kepada diri kita sendiri. Dan setiap kebaikan yang kita lakukan pada orang lain akan menjadi “pagar” yang mengelilingi diri kita sendiri. Sehingga kita tak bisa dicelakai orang lain, sebaliknya akan mendapat keselamatan, serta meraih ilmu kabegjan (keberuntungan). Jika diungkapkan dalam perumpamaan, kita akan menjadi seperti bola, semakin kuat dibanting maka semakin tinggi pantulan ke atasnya.

Salam Bocah Angon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar